Firman Allah ta’ala
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad).” (Asy-Syarah: 1)
Ayat ini dan setelahnya dalam surat Alam Nasyrah merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang menggelantung di dada Rasulullah shalallahu alaihi wassalam setelah wahyu turun pada beliau. Sebuah jawaban yang dihasilkan dari dialog diri sebagai pengingat nikmat-nikmat Allah yang telah Dia anugerahkan.
Atau sepertinya merupakan bentuk dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika mendapat kepedihan saat menjalankan kewajiban risalah kemudian Allah jawab dengan kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah karuniakan pada beliau karena menjalankan kewajiban ini.
Untuk mengenal kedua persoalan ini, harus memperhatikan keadaan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pada saat itu yaitu ketika hidup di Mekah. Yakni fase banyaknya pertanyaan-pertanyaan, emosional, kondisi yang muncul dari jiwa setelah turunnya wahyu dan nubuwah.
Mengingat kembali sirah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ketika pertama kali menerima wahyu dan nubuwah kita menemukan apa yang membuat diri Nabi shalallahu alaihi wassalam tersibukkan yaitu tentang nubuwah yang tiba-tiba diterima beliau.
Karena sebelumnya sama sekali Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak pernah membayangkan, mengenal bahkan memahami makna-maknanya. Ini seperti yang telah Allah sebutkan dalam surat Al-Qoshos:
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu.” (Al-Qhoshos: 86)
Tidak pernah sekalipun, jiwa beliau yang mulia untuk bersiap menerima wahyu atau beban lainnya. Bahkan beliau tidak mengetahui sejarah nabi-nabi sebelumnya serta kisahnya. Jadilah beliau kebingungan saat beliau menerima wahyu di Gua Hira seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha:
“Setelah itu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, ‘Selimuti aku, selimuti aku!’ Khadijah menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kata beliau kepada Khadijah binti Khuwailid, ‘Khadijah, ada apa dengan diriku. Sesungguhnya aku mencemaskan atas diriku’.” (Shahih Al-Bukhari)
Beliau sangat kebingungan, resah dan cemas atas kejadian yang baru saja menimpanya. Padahal itu sebuah nikmat yang sangat besar bahkan paling besar, yaitu turunnya risalah terakhir pada beliau. Tetapi ketidaktahuan ini membuat dada beliau sesak.
Apalagi setelah beliau shalallahu alaihi wassalam mendapat informasi nantinya akan diusir oleh kaumnya dari Mekah sebagaimana dikabarkan oleh lelaki shalih Waraqah bin Nufail. Beliau seakan tidak percaya dengan balik bertanya:
أو مخرجي هم؟
“Apakah mereka benar akan mengusirku?” (Al-Bukhari dan Muslim)
Dimaklumi, pertanyaan-pertanyaan berat dalam hati terdetik ketika diri dalam keadaan kepayahan, kesempitan dan kegalauan. Lalu turunlah surat Asy-Syarah atau Al-Insyirah ini setelah beliau mendapatkan ilmu dan tunduk pada takdir Allah. Bahwa kelapangan dada setelah kesempitan merupakan suatu nikmat dari Allah yang membuatnya bahagia.(zen)