وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَا (7) فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَا (8) قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَا (10)
Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams, 91: 7-10)
Ada tiga kategori jiwa:
Pertama, jiwa yang cederung kepada kejahatan,
وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Yusuf, 12: 53)
Kedua, jiwa yang labil kadang benar, kadang menyimpang,
وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah, 75: 2)
Ketiga, jiwa yang tenang dan mantap di atas kebenaran,
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ (27) ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْ (29) وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ (30)
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr, 89: 27-30)
[Ketiga], pola pendidikan yang harus diperhatikan adalah mencerdaskan akal. Pendidikan akal agar dimulai dengan menanamkan Alqur’an dan Assunnah agar hasilnya seperti generasi sahabat,لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali ‘Imran, 3: 164)
Pola pendidikan qur’ani ini disebut oleh Alqur’an pendidikan rabbani agar lahir generasi rabbani yaitu,
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ
Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS. Ali ‘Imran, 3: 79)
Disebut oleh Ibnu Abbas sebagai generasi yang memiliki tiga kriteria:
Pertama, ‘ulama yang menguasai ilmu Islam dan menguasai ilmu dunia.
Kedua, hukama yaitu sikap bijak dalam berbicara dan bertindak.
Ketiga, hulama yaitu bersikap santun dan berakhlak mulia. Subhanallah.
Kita merindukan generasi ideal seperti itu dan tidak akan lahir kecuali kita persiapkan. Terlebih di bulan Ramadhan yang spesial ini, kita harus menemukan jati diri kita guna membangun masa depan ummat dan bangsa agar menjadi pionir perubahan untuk memimpin dunia yang ditandai dengan gagalnya konsep Barat maupun Timur dan kembali kepada konsep ilahi menuju kejayaan, keadilan dan keharmonisan. Wallahu a’lam.