I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat khusus. Orang yang beri’tikaf melaksanakan berbagai amal ibadah di dalam masjid, tanpa keluar dari sana kecuali ada kebutuhan tertentu.
اللبث في المسجد، من شخص مخصوص بنية
Orang yang mengkhususkan diri berdiam di masjid dengan niat tertentu. (Al-Iqna’, V/406)
Biasanya, i’tikaf dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Menurut ulama, hukum i’tikaf di bulan Ramadhan adalah sunnah mu’akkad. Lebih utama lagi bila dilaksanakan pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan untuk meraih lailatul qadr. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada tiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari).
Kemudian, ada dua syarat i’tikaf yang wajib dipenuhi, yakni niat dan berdiam di masjid. Pertanyaan selanjutnya, masjid manakah yang paling utama dan yang diperbolehkan untuk i’tikaf?
Masjid yang paling utama dilaksanakannya i’tikaf adalah Masjidil Haram di Mekah, berikutnya Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Bahkan, terdapat hadits yang amat menekankan ketiga tempat tersebut, meskipun hadits ini diperselisihkan ulama muhadditsin.
لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Nabawi) dan Masjid Baitul Maqdis.
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Ismai’ili dalam kitab Al-Mu’jam, Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan, Ath-Thahawi dalam Musykilatul Atsar dan lain-lain. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah menilai hadits tersebut shahih menurut syarat syaikhani. Beliau menambahkan keterangan terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah tidak sempurnanya pahala, bukan larangan tidak boleh beri’tikaf pada selain tiga tempat tersebut.
Sebab, sebagaimana diketahui pahala beribadah di tiga tempat itu amat besar, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Namun demikian, ulama sepakat bahwa tempat yang paling utama untuk beri’tikaf adalah tiga masjid sebagaimana disebutkan di atas. Kemudian, jumhur ulama berpendapat bahwa i’tikaf tidak disyaratkan harus di tiga masjid itu.
Al-Imam Al-Bukhari, bahkan membuat bab khusus tentang i’tikaf dengan mengisyaratkan keumuman masjid untuk i’tikaf.
“بَاب الاعْتِكَافِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَالاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى : ( وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ )
Bab i’tikaf di sepuluh akhir dan beri’tikaf di semua masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Al-Imam Al-Kasani berpendapat,
فَأَفْضَلُ الِاعْتِكَافِ أَنْ يَكُونَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ثُمَّ فِي مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ مَسْجِدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ فِي الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى ثُمَّ فِي الْمَسْجِدِ الْجَامِعِ ثُمَّ فِي الْمَسَاجِدِ الْعِظَامِ الَّتِي كَثُرَ أَهْلُهَا وَعَظُمَ
“I’tikaf yang paling utama di Masjidil Haram, kemudian masjid Madinah (Nabawi) kemudian Masjid Al-Aqsha kemudian di masjid jami’ (yang digunakan shalat Jum’at), kemudian di masjid lain yang megah dan banyak jamaahnya.” (Badhai’us Shanai’, IV/318).
Selanjutnya yang paling penting dalam i’tikaf bukan sekedar berdiam diri, apalagi hanya numpang tidur. Tetapi bersungguh-sungguh menghidupkan i’tikaf di masjid pada 10 malam terakhir. Di antaranya dengan memperbanyak ibadah sunnah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir dan memanjatkan doa.
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebab, di antara 10 malam terakhir itu terdapat lailatul qadar, malam yang lebih utama dari 1000 bulan. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari dan Muslim).
Berapa lama ukuran i’tikaf? Ulama berbeda pendapat, di mana tidak ada batasan waktu tertentu untuk durasi i’tikaf. Namun, keluar dari perbedaan pendapat ulama adalah yang terbaik, sebagaimana dianjurkan Al-Imam Asy-Syafi’i,
واستحب الشافعي رحمه الله أن يعتكف يوماً للخروج من الخلاف
Asy-Syafi’i menganjurkan untuk melakukan i’tikaf sehari agar terlepas dari khilaf atau perselisihan para ulama. (Al-Iqna’, I/281)
Terakhir, i’tikaf batal, apabila seseorang berjima’ dan keluar dari masjid tanpa udzur. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).
Ibnu Hazm berkata,
واتَّفقوا على أنَّ مَن خرج من معتكَفه في المسجد لغيرِ حاجة، ولا ضرورةٍ، ولا بِرٍّ أُمِر به، أو نُدب إليه- فإنَّ اعتكافَه قد بطَل
“Para ulama sepakat bahwa mu’takif (pelaku i’tikaf) yang keluar dari tempat i’tikafnya di dalam masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak, tidak pula karena darurat atau melakukan suatu perkara kebaikan yang diperintahkan atau dianjurkan, maka i’tikaf yang dilakukannya telah batal.” (Maratibul Ijma’, hal. 41)
Namun untuk untuk makan dan minum serta keperluan mendesak lainnya; mandi cuci kakus (MCK) maka diperbolehkan. Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِى إِلَىَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ketika beri’tikaf mendekatkan kepalanya (kepada Aisyah yang berada di kamar di luar masjid), lantas saya menyisir rambut Beliau. Beliau tidaklah kembali ke rumahnya, melainkan karena adanya hajat manusiawi. (HR. Abu Dawud).
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa keluar dari masjid untuk keperluan mendesak, diperbolehkan dan tidak membatalkan i’tikaf. Ibnul Mundzir berkata,
أجمع العلماء على أن للمعتكف أن يخرج من معتكفه للغائط والبول، لان هذا مما لا بد منه
Ijma’ ulama, bahwa seseorang yang beri’tikaf keluar masjid untuk buang air besar atau kecil, tidak batal i’tikafnya karena hal itu tidak bisa dihindari (Fiqih Sunnah, hal 482).
Demikian sekelumit tulisan ini, semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kaum Muslimin yang hendak melaksanakan ibadah i’tikaf di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam.