Breaking News

Sahur Sarapan Gambaran Ukhuwah Islamiyah

Berikut adalah testimoni peserta itikaf PP. Salman Al-Farisi. Setelah proses editing EYD, kami memuatnya apa adanya dan mendapat izin dari penulis. Semoga bermanfaat.

Saya adalah peserta itikaf di masjid Al-Walidain Ponpes Salman Al-Farisi (Blumbang Karanganyar) dari Pacitan yg sering disebut kota 1001 gua. Pertama menginjakkan kaki di Masjid Al Walidain disambut dg hawa dingin yg menusuk belulang. “Wah…ngalamat tdk mandi ni.” Itu yg pertama terpikir dlm benak.

Panitia dan beberapa peserta yg sdh datang menyambut hangat kami.

Hari pertama itikaf 20 Ramadhan hingga hari terakhir 30 Ramadhan adalah hari berselancar pengalaman dalam ilmu, amal, dan keihlasan berhayatuddiin. Betapa tdk…peserta datang dari berbagai daerah dg berbagai latar ormas. Saya sendiri berasal dati kultur NU yg kental dan secara personel adalah warga aktif NU (perlu bukti, saya punya kartu NU lho…).

Tapi…di Al-Walidain kita melebur…tdk nampak mengemuka ego paham. Salat malam yg dilakukan menggambarkan bahwa kita adalah beda tapi kompak. Satu imam membaca basmalah dg jahr sedang dua lainnya tanpa menjahrkan basmalahnya, atau bahkan tdk memacaques bacanya sama sekali. Dan semua berjalan tanpa kasak kusuk, protes ataupun caci maki. Sungguh idealitas tasamuh dan tawasuth teraplikasikan di sini. Sunguh indah jika keberagamaan di tengah kebangsaan bercermin dan menoleh serta mematut dari potret ukhuwah di Al-Walidain.

Para asatidz dg santri dan peserta itikaf yang awam (seperti saya ini) tdk merasa lebih dan kurang; makan, tidur, mandi, bahkan mencuci piring atau gelas bekas bikin kopi terkadang mereka kerjakan sendiri. Panitia juga tdk merasa sungkan untuk minta para peserta yang suka makan malam dan bikin kopi untuk mencuci sendiri peralatan bekas pakainya. Dan…tiada yg mengeluh terzalimi…ya kaaaan ???

Peserta itikaf sedang mengikuti kajian ilmiah

Gambaran ukhuwah semakin lengkap ketika sahur terakhir malam 30 Ramadhan. Sehabis qiyamul lail seperti bisanya dikomando “saatnya sahuuuur!” . Maka segera semua peserta meluncur ke lantai bawah utk menikmati makan sahur. Tiba2 ada panitia yg menyelethuk,`]”Monggo sarapan.”

“Sarapan piye tho Tadz ?” ada yg penasaran.
“Iya… Kami telah berhari raya hari ini.”
“Karena kami mengkuti teori matla’ global (satu negeri bisa melihat bulan maka negeri-negeri lain mengikutinya); dan hari ini Makkah sudah berhari raya, maka kamipun berhari raya.” Panitia berusaha menjelaskan.

“Lha … terus bgm ini ? saya mesti sahur atau sarapan ?”, beberapa peserta mulai kasak kusuk.
“Monggo…terserah Antum,” penuh penghargaan panitia memberikan pilihan.

Saya sih santai saja karena saya meyakini dan mengikuti teori matla´ mazdhab syafii dalam masalah ruyatul hilal. Sehingga dalam masalah ini lebih memilih mengikuti NU dan pemerintah.

“Jangan khawatiiirrrrr…. Meskipun panitia sudah berhari raya tapi panitia masih menyediakan menu buka bagi yg masih berpuasa.” Ustadz Kelik menentramkan hati para peserta yg hari itu masih berpuasa dan ingin meyempurnakan i`tikafnya hingga maghrib.

Luuuaaarrr biasa….!!!
Panitia yg sdh berhari raya masih ikhlas menyiapkan dirinya untuk melayani peserta yg menggenapkan puasanya. Inilah gambaran ukhuwah sesungguhnya… Telah terpraktikkan dengan baik di Al-Walidain tanpa tendensi apapun kecuali hanya semata meraih ridha ALLOH ﷻ.

Yap…
SAHUR dan SARAPAN adalah sama-sama aktifitas makan tetapi berbeda tata cara dan niatannya. Tetapi SAHUR dan SARAPAN keduanya hari itu (30 Ramadhan) menjadi tanda yang sama dalam menyatukan berbagai perbedaan. Semoga semangat ini menular, menjalar dan mengakar dalam muamalah yg lebih luas. Aamin.

Al Faqir ila Rahmatillah ﷻ
Hanifudin al Basitaniy (Staf pengajar di STAINU Pacitan dan peserta i`tikaf di masjid Al Walidain)
Mohon maaf atas segala hal yg kurang berkenan selama kita bergumul 10 hari

Check Also

Santriwati Pondok Pesantren Salman Al Farisi Raih Juara Ketiga di Musabaqah Hifdzil Qur’an Tingkat Nasional

Surakarta, 25 Agustus 2024 – Ainal Mardhiyah, santriwati tahun ke-6 dari Pondok Pesantren Salman Al …