Rebo wekasan merupakan ritual tradisi yang dilaksanakan oleh Sebagian kaum muslimin di akhir bulan shafar. Tujuannya adalah untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT dari malapetaka yang diyakini akan turun pada akhir bulan shafar. Ritualnya sendiri bermacam macam ada shalat tolak bala denga tata cara khusus berdoa agar dijauhkan dari bala, bershodaqoh hingga meminum air jimat. (disebagian tempat)
Dasar pelaksanaan ritualnya berasal dari “kasyaf” seorang syaikh. Pengertian kasyaf adalah kemampuan seorang wali untuk melihat hal-hal yang tidak bisa di lihat oleh orang lain, biasa disebut dengan ilham (penglihatan yang datang dari mimpi), dalam hal ini seorang syaikh Bernama Ahmad bin Umar ad- dairobi yang diyakini oleh Sebagian kaum muslimin mampu melihat dengan kasyaf-nya (wafat tahun 1151 H) menyampaikan dalam kitab (mujarobat ad-dairobi) bahwasanya “diakhir bulan shafar akan turun 320 ribu macam bala’ dalam 1 malam” maka dari itu beliau menganjurkan untuk melaksanakan shalat talak bala’ pada hari tersebut.
Tata cara shalatnya sendiri terdiri dari 4 rakaat, tiap rakaat membaca al-fatihah dilanjut membaca al-kautsar 17 kali, al-ikhlas 5 kali al-falaq dan an-nas 1 kali, untuk waktunya maka dilaksanakan di waktu dhuha.
Ahlussunah dalam hal ini tentunya memiliki I’tiqad yang jelas, salah satunya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu hurairoh
لا عدو ولا صفر ولاهامة. (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “Tidak ada penyakit menular, tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang”.
Ada beberapa hal yang menarik di hadits ini, salah satunya Rasulullah menyebutkan “ولا صفر“ . jadi dahulu orang arab memiliki keyakinan bahwasanya di bulan shafar itu akan ada malapetaka, hampir mirip dengan yang diyakini oleh sebagian kaum muslimin indonesia yang mereka merujuk kepada mujarobat ad-dairobi.
Tapi disini Rasulullah secara jelas dan khusus menafikannya, sejatinya bukan tentang amalan ibadahnya ataupun sedekahnya yang menjadi masalah, melainkan I’tiqad / keyakinan akan kesialanlah yang berbahaya. Istilah tersebut biasa kita sebuat dengan “thiyaroh” yaitu menyakini bahwa hari tertentu, bulan tertentu memiliki kesialan. maka ini menjadi credit point yang harus dipahami semuanya bahwa kita menafikan I’tiqod ini, bukan sekedar amalanya.
Kemudian selanjutnya terkait dengan rabu wekasa ini para ulama’ nusantara telah memberikan fatwa, KH Hasyim asy’ari R.A dalam fatwanya beliau melarang pelaksanaan ritual rabu wekasan, bahkan dalam beberapa qoror muktamar NU. Sebagaimana yang disebutkan dalam muktamar NU ke-3 “dilarang menyakini hari naas (sial)”. Kemudian terkait dengan hukum shalat di rabu wekasan sendiri, hasil keputusan musyawarah NU jateng tahun 1978 di magelang menghukumi shalat di rabu wekasan hukumnya haram. Jadi hampir seluruh fatwa yang kita lihat, yang dari ulama’ nusantara sendiri (Indonesia) jika shalat itu diniatkan shalat khusus rabu wekasan maka hukumnya “HARAM”. Tapi Ketika diniatkan shalat mutlak maka tak mengapa. Dan menjadi masalah Ketika dia meniatkan shalat sunnah mutlak tapi dilaksanakan di rabu wekasan maka ini tidak akan membersihkan I’tiqad-I’tiqad yang tidak benar tentang adanya kesialan di akhir bulan shafar. Maka dari itu untuk menyikapi hal tersebt yaitu dengan memperioritaskan keselamatan aqidah umat dan keyakinan umat dari thiyaroh bahwasanya tidak ada hari tertentu/barang tertentu dan sifat tertentu yang membawa kasialan.
Yang terakhir terkait pengambilan hukum oleh syaikh Ahmad Umar ad-dairobi tentang kasyafnya,dalam islam sendiri hal itu disebut atau dikenal dengan ilham/mimpi. Dan dalam ushul fiqih ilham dan mimpi tidak bisa di jadikan sandaran hukum, maka dari itu tidak bisa dibenarkan pelaksanaan shalat rebo wekasan di bulan shafar atas dasar tersebut.
Penulis: Ustadz Nur Fajriansyah, Lc. Al-Hafizh
(Kepala Divisi Kurikulum Ponpes Salman Al-Farisi)