Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Rabbmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Al-Mukmin: 60)
Ketika Allah memerintahkan hamba-Nya untuk meminta apapun pada-Nya dengan berdoa, maka doa menjadi sesuatu yang paling mulia dihadapan Allah.
Seperti sabda Nabi shalallahu alaihi wassalam:
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dihadapan Allah daripada doa.” (Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Sebab, doa merupakan pernyataan penegasan manusia sebagai hamba atas sifatnya sebagai manusia. Sifat yang ada padanya kelemahan, ketidakberdayaan, kebodohan dan sifat lupa. Serta pengakuannya atas kekuasaan Allah, kebesaran dan kepengurusannya.
Ia mengakui Allah sebagai Rabb, pengatur segala urusan. Sedangkan hamba hanyalah hamba yang fakir pada Allah. Ia juga mengakui atas kesalahannya, dosanya, dan kelemahannya dihadapan Allah.
Inilah mengapa doa menjadi inti sari ibadah.
Mutharif bin Syikhkhir merenungi kaidah diatas lalu menemukan jawabannya yang ia tuangkan dalam kata:
“Aku mengingat apa saja kunci kebaikan itu. Ternyata kebaikan itu ada banyak macamnya, seperti puasa dan shalat. Dan ternyata kebaikan tersebut ada di Tangan Allah. Engkau tidak akan sanggup memiliki apa yang ada di Tangan Allah, kecuali dengan memohon kepada-Nya, lalu Dia memberimu. Karena itulah kebaikan ada pada doa.”