Shalat adalah perkara penting bagi seorang muslim. Rukun Islam tersebut akan menjadi perkara pertama yang dihisab di yaumil akhir dan menjadi penentu amal yang lain.
إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi).
Maka seorang muslim harus benar-benar memperhatikan shalatnya. Dengan demikian, ia akan melakukan ibadah shalat dengan sepenuh hati. Bahkan, shalat menjadi pembuka pintu kebahagiaan dan ketenangan hatinya.
Itulah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan shalat sebagai kegemarannya.
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِىَ فِى الصَّلاَةِ
“Dan dijadikan kesenanganku dalam shalat.” (HR. Baihaqi).
Maka tak heran, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa menghidupkan shalat malam. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan shalatnya Rasulullah sampai membuat kedua kakinya pecah-pecah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَتَّى تَزْلَعَ قَدَمَاهُ، يَعْنِي تَشَقَّقُ قَدَمَاهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat hingga kedua telapak kakinya merekah.” (HR. An-Nasai).
Sahabat Menikmati Shalat
Bukan hanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang begitu menikmati shalat. Ternyata, ‘life style’ menjadi penikmat shalat juga dilakukan para sahabat, sebagaimana kisah berikut ini.
Pasca kemenangan kaum Muslimin dalam perang Dzaturriqa, Rasulullah dan para sahabar kembali ke Madinah. Di perjalanan, mereka bermalam dan sebagaimana biasanya, ada di antara para sahabat yang bertugas jaga di malam hari. Mereka yang melaksanakan tugas itu adalah sahabat dari kalangan muhajirin Ammar bin Yasir dan dari kalangan Anshar ‘Abbad bin Bisyr.
‘Abbad bin Bisyr mempersilahkan teman sejawatnya Ammar bin Yasir untuk beristirahat, sementara ia lebih dulu melakukan penjagaan. Setelah dipastikan semua kondisi aman, Abbad mengisi malamnya dengan qiyamullail dengan membaca surat Al-Kahfi dalam shalatnya.
Saat Abbad bin Bisyr tenggelam dalam khusyu’nya shalat, tiba-tiba sejurus kemudian, sebatang panah pun menancap di tubuhnya. Herannya, panah itu diabaikannya begitu saja. Ia terus melanjutkan shalatnya seakan tidak terjadi apa-apa.
Tak lama berselang, panah kedua dan ketiga pun menghujam tubuhnya. Namun ‘Abbad tetap saja bersikap tenang seperti tak terjadi apa-apa. Panah yang menancap ditubuhnya itu secara perlahan dicabutnya, lalu ia teruskan shalatnya. ‘Abbad yang hampir sekarat itu terus menyelesaikan shalatnya. Setelah salam ke kanan dan kekiri, barulah ia bangunkan rekannya ‘Ammar bin Yasir yang tertidur. Ammar bin Yasir kaget bukan kepalang melihat sahabatnya bersimbah darah, terjadilah dialog di antara mereka
قالَ : سُبحانَ اللَّهِ ألا أنبَهْتَني أوَّلَ ما رمى ، قالَ : كنتَ في سورةٍ أقرَؤُها فلَم أحبَّ أن أقطعَها
Ammar berkata: “Subhanallah, Kenapa engkau tidak membangunkanku ketika kamu dipanah yang pertama kali tadi?” tanya ‘Ammar kepada ‘Abbad.
Abbad menjawab: “Ketika aku shalat tadi, aku membaca beberapa ayat Al-Qur’an yang aku tak ingin untuk memutusnya.” (HR. Abu Dawud).
Dampak Shalat
Jika makanan adalah nutrisi bagi tubuh, maka shalat adalah nutrisi bagi ruhiyah. Mudah sekali untuk menikmati makanan yang enak, apalagi itu adalah kebutuhan bagi tubuh. Sebaliknya, sulit sekali untuk menikmati ibadah shalat, walaupun itu adalah kebutuhan sekaligus kewajiban yang akan menyelamatkan kita di akhirat.
Padahal, ciri orang beriman adalah apabila mereka shalat, maka ia laksanakan dengan khusyu’. Mustahil khusyu’ dalam shalat itu dicapai, bila ia tak menikmati atau menganggap shalat sebagai beban yang amat berat.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ , الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2).
Ketika shalat itu sudah dijaga, dipenuhi hak-haknya, khusyu’ dan terasa nikmat, maka hal itu akan jadi sarana mediasi untuk mendatangkan pertolongan Allah.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS. Al-Baqarah: 45).
Urwah bin Zubair, seorang tabi’in dan ahli fiqih Madinah pernah terinfeksi penyakit Al-Akilah di kaki kirinya. Sebuah penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya itu diderita saat ia melakukan perjalan ke negeri Syam, mengunjungi Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Khalifah Al-Walid kemudian mengumpulkan tim dokter kekhilafahan yang akhirnya menyimpulkan tak ada cara lain untuk menyelamatkannya kecuali diamputasi.
Ulama yang gemar shalat malam itu pun akhirnya diamputasi. Uniknya, ketika dokter menawarkan bius dengan minuman yang menghilangkan kesadarannya agar tak merasakan sakitnya diamputasi, ia menolak. Urwah pun berkata,
ما ظننت أن أحدا يؤمن بالله يشرب شيئا يغيب عقله حتى لا يعرف ربه عزوجل، ولكن هلموا فاقطعوها فقطعوها من ركبته وهو صامت لا يتكلم، ولا يعرف أنه أن، وروى أنهم قطعوها وهو في الصلاة فلم يشعر لشغله بالصلاة فالله أعلم
“Saya tidak mengira, ada seseorang yang beriman kepada Allah meminum sebuah minuman yang akan menghilangkan kesadaran akalnya hingga ia tak mengenal Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Namun -jika memang harus melakukan hal tersebut- (mengamputasi sebelah kakinya). Maka amputasilah dari mulai lutut lakukanlah itu, sedangkan ia diam tak berbicara (merintih). Diriwayatkan sesungguhnya mereka (para dokter) mengamputasi kaki Urwah bin Zubair saat dalam keadaan shalat. Ia tak merasakan apa pun karena aktivitas (khusyu’) shalatnya. Allah yang Maha Mengetahui.” (Al-Bidayah Wan Nihayah, IX/121).
Subhanallah, kisah di atas menjadi bukti, bahwa shalat telah memberikan dampak luar biasa, yakni menjadi penolong Urwah bin Zubair, sekaligus menjaganya dari kemunkaran.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).
Tips Agar Menikmati Shalat
Lantas, bagaimana agar kita bisa menikmati shalat maupun ibadah lainnya?
Pertama, mengilmui shalat sesuai tuntunannya. Yakni mencontoh bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari).
Kedua, membaca Al-Qur’an di dalam shalat lebih utama dibandingkan di luar shalat. Maka perbanyaklah hafalan Al-Qur’an dan pahami maknanya, agar mudah bertadabbur dalam shalat.
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 191).
Ketiga, memperbanyak shalat sunnah, khususnya qiyamullail, karena bacaan Al-Qur’an dalam shalat malam lebih merasuk ke dalam jiwa.
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan. (QS. Al-Muzzammil: 6).
Keempat, menjauhi maksiat. Karena maksiat membuat hati berkarat dan menghapus rasa nikmat ibadah.
Wuhaib bin Al-Ward ditanya,
لَا يَجِدُ حَلَاوَةَ الْعِبَادَةِ مَنْ يَعْصِي اللهَ ؟
“Apakah orang yang bermaksiat kepada Allah itu bisa merasakan manisnya ibadah kepada Allah?”.
Jawaban beliau,
لَا، وَلَا مَنْ هَمَّ بِالْمَعْصِيَةِ
“Orang yang bermaksiat itu tidak bisa merasakan manisnya ibadah. Bahkan orang yang berniat hendak melakukan maksiat itu tidak bisa merasakan manisnya ibadah” (Syu’abul Iman Al-Imam Al-Baihaqi)
Kelima, mari kita simak nasihat salah seorang ulama, Ahmad bin Harb rahimahullahu pernah berkata :
عَبَدْتُ اللهَ خَمْسِيْنَ سَنَةً، فَمَا وَجَدْتُ حَلاَوَةَ العِبَادَةِ حَتَّى تَرَكْتُ ثَلاَثَةَ أَشيَاءٍ: تَرَكْتُ رِضَى النَّاسِ حَتَّى قَدِرْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ بِالحَقِّ، وَتَرَكْتُ صُحْبَةَ الفَاسِقِيْنَ حَتَّى وَجَدْتُ صُحْبَةَ الصَّالِحِيْنَ، وَتَرَكْتُ حَلاَوَةَ الدُّنْيَا حَتَّى وَجَدْتُ حَلاَوَةَ الآخِرَةِ.
“Aku telah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala selama 50 tahun dan tidaklah kudapati kenikmatan beribadah melainkan setelah kutinggalkan tiga perkara; (1) Kutinggalkan mencari ridho manusia sehingga aku sanggup mengatakan kebenaran. (2) Kutinggalkan pertemanan dengan orang-orang yang gemar berbuat kerusakan sehingga aku mendapatkan teman-teman yang sholeh. (3) Kutinggalkan kenikmatan dunia sehingga aku mendapatkan kenikmatan akhirat.” (Siyar A’lam An-Nubala, XXI/37).
Semoga kisah diatas dan nasihat para ulama semakin memotivasi diri kita untuk terus berlatih menikmati ibadah shalat. Wallahu a’lam.