Ketika titik berat pendidikan hanya dilihat dari muatan materi yang diajarkan, hampir semuanya teoritis, secara motivasipun sama, standard kesuksesan dalam pendidikannya adalah ketika anak didik bisa dapat nilai tinggi secara akademis, atau lulus UN, atau mendapatkan piala bergengsi dari lomba-lomba akademis yang diadakan. Tidak penting lagi nilai keshalihan dalam diri, malah kadang dianggap sebagai penghambat kesuksesan.
Dari sinilah awal mula rahim peradaban kita dirusak, dari pendidikan tersebut lahirlah generasi wanita karir, wanita yang banyak keluar rumah, bersolek (tabarruj), orientasinya duniawi, dan meninggalkan peran utamanya sebagai seorang pendidik. Bahkan muncul istilah “emansipasi wanita” atau “kesetaraan gender” dimana para wanita memaksa agar peran dan fungsinya disamakan dengan lelaki meskipun berbeda dari fitrah penciptaan mereka.
Lebih parah lagi ketika rasa malu sebagai pakaian kebesaran wanita sudah ditanggalkan. Munculah sosok wanita yang mengumbar auratnya dan berlindung dengan dalih kebebasan dalam berekspresi, bahkan ada yang menamainya dengan seni, wal’iyaadhu billah.
Perempuan adalah soko gurunya peradaban, sehingga Islam memberikan perhatian khusus bagi mereka. Ketika tugas utama perempuan sebagai pendidik diabaikan oleh mereka bahkan dirusak, maka terlahirlah generasi yang merusak peradaban. Dan solusi untuk memperbaikinya harus dimulai dari perbaikan rahim peradaban.
Kurikulum pendidikan anak perempuan harus ditekankan pada pembentukan karakternya menjadi seorang pendidik. Sedangkan karakter pendidik bisa dibagi menjadi beberapa bagian :
- Karakter dasar dalam pribadinya
- Karakter sebagai ibu rumah tangga
- Karakter sebagai guru bagi anak-anaknya ataupun orang lain.
Untuk karakter dasar yang harus dimiliki setiap pribadi wanita antara lain adalah sifat ikhlash, sabar, telaten, ulet, rajin, penyanyang, pemalu. Sebagai seorang ibu rumah tangga perempuan harus memiliki sifat qonaah, zuhud, taat, dan juga ridho. Dan sebagai guru seorang wanita harus membekali dirinya dengan kecerdasan, kreativitas, dan komunikasi yang baik dengan anak didiknya.
Untuk membentuk karakter tersebut tidak mungkin terealisasi hanya dengan teori saja. Motivasi, nasehat, pengarahan dan praktek lebih banyak bermanfaat dibanding hanya mengandalkan teori saja. Tentunya tidak dinafikan peran teoritis bagi pembentukan karakter mereka, tapi bukan merupakan yang pokok. Disamping itu suri tauladan dari sang pendidik juga menjadi faktor besar kesuksesan pendidikan karakter bagi wanita.
Anak didik butuh banyak dikenalkan dengan sosok wanita pilihan, dimana karakter mereka akan terus memberikan inspirasi dan motivasi untuk diteladani. Diantara faktor kegagalan dunia pendidikan modern dalam membentuk karakter anak disebabkan minimnya figur teladan yang diikuti. Sehingga anak terpengaruh tren dan budaya negatif yang mereka konsumsi setiap hari dari gencarnya informasi di dunia maya dan acara televisi.
Kurikulum berbasis fitrah harus memberikan porsi yang cukup untuk pembekalan living skill yang dibutuhkan perempuan. Memasak, menjahit, kecantikan, perawatan bayi, pengobatan dasar dan skil lain yang sesuai dengan dunia keputrian wajib diberikan. Banyak keluhan dari para suami modern yang mendapati istrinya kurang cakap dalam skil tersebut, sehingga berpotensi mengganggu keharmonisan dalam keluarga.
Yang tidak boleh ketinggalan juga adalah pembekalan dasar ilmu agama bagi perempuan, terkhusus ilmu yang terkait dengan hukum amalan harian bagi wanita, dasar aqidah, fiqih muamalah, serta ilmu adab, baik yang dhohir maupun yang bathin. Itu semua sangat dibutuhkan bagi pribadinya dan juga bagi anak didiknya.
Ruh dari semua aspek pendidikan diatas adalah Al-Quran. Ini adalah bagian yang tidak boleh ditinggalkan atau juga disepelekan. Pembelajaran Al-Quran dari semua aspek harus menjadi materi pokok dalam keseharian mereka. Dimulai dengan talqin dan tahsinul qiraah, kemudian menghafal, kemudian memahami isi kandungannya, sampai kepada tadabbur dan pengamalan isinya. Karena Al-Quran akan menjadi sumber inspirasi sekaligus kontrol adab bagi mereka. Al-Quran adalah penguat, pemberi semangat dan sumber keberkahan dari setiap kegiatan pendidikan yang mereka jalani.
Dari pendidikan seperti ini diharapkan akan kembali terlahir sebuah peradaban besar, peradaban yang mengentaskan umat manusia dari perbudakan sesama mereka menuju peribadatan kepada dzat pencipta manusia. Wallahu ta’ala a’lam.
Oleh: Ust. Sanif Alisyahbana, LC Mudir Ponpes Islam Salman Al-Farisi