Bersama Al-Quran merupakan rutinitas pembelajaran generasi awal Islam mulai dari sahabat, tabiin dan tabiut tabiin. Sehingga Al-Quran tidak bisa lepas dari kehidupan. Mereka mengawali aktivitas dengan Al-Quran dan menghiasi malam mereka dengannya.
Al-Quran bukan hanya pedoman hidup yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat, orang yang mempelajarinya dan mengajarkannya akan menjadi orang terbaik. Seperti sabda Rasulullah salallahu alaihi wassalam:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Kitab suci umat Islam memiliki keistimewaan. Mempelajarinya dengan cara khusus yaitu talaqi. Rasulullah salallahu alaihi wassalam belajar secara talaqi dengan Jibril. Kemudian Jibril memeriksa bacaan Nabi salallahu alaihi wassalam setiap tahun sekali pada bulan ramadhan. Bahkan dari riwayat Al-Bukhari disebutkan, Jibril membacakan Al-Quran dan memeriksa bacaan Nabi setahun dua kali saat ajalnya kian dekat.
Talaqqi menurut bahasa berarti belajar secara berhadapan dengan guru. Sedangkan dalam konteks pembelajaran Al-Qur’an, sang murid belajar dengan memperhatikan gerak bibir guru untuk mendapatkan pengucapan makhraj dan sifat huruf yang benar. Sehingga dihasilkan bacaan yang sesuai dengan yang diajarkan guru atau paling tidak menyamai.
Sahabat
mempelajari Al-Quran dengan Rasulullah salallahu alaihi wassalam
sebagaimana Rasulullah mengambilnya dari Jibril yang menyambung sampai Allah azza
wa jalla. Allah berfirman:
“Dan Kami telah membacakan (Al-Qur’an itu) kepada (Muhammad) secara tartil“. (Al-Furqan: 32)
Seterusnya tabiin (murid sahabat) mengambilnya dari sahabat secara talaqi, kemudian mengajarkannya pada generasi setelahnya. Demikian seterusnya sehingga mata rantai bacaan Al-Quran menyambung sampai Rasulullah salallahu alaihi wassalam, Jibril alaihissalam dan Allah azza wa jalla.
Rasulullah salallahu alaihi wassalam pernah berpesan supaya pembacaan Al-Qur’an itu diambil dan dipelajari dari empat orang sahabat:
“Ambillah bacaan
al-Quran itu dari empat orang; Abdullah Ibnu Mas`ud, Salim, Mu’az bin Jabal dan
Ubai bin Ka’ad“. (HR. Bukhari)
Inilah yang disebut sanad qiraah yang menjadi salah satu tradisi pembelajaran Al-Quran selama berabad-abad. Seseorang yang telah berhasil belajar dengan seorang guru bersanad dan dinyatakan bacaannya lulus, dia diberi ijazah sanad.
Sehingga bisa dikatakan bahwa sanad merupakan cara Allah menjaga firmanNya agar tetap otentik dan jauh dari penyimpangan baik berupa penambahan, pengurangan atau juga perubahan secara tulisan maupun bacaan. Allah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)
Imam Abdullah bin Mubarak pernah menyampaikan:
“Sanad adalah bagian dari agama Islam kalaulah bukan karena sanad sungguh sembarang orang akan berkata seenaknya.”
Di negeri kita, geliat keislaman dan ilmu qiraah mulai berkembang pesat pasca reformasi. Banyak santri yang menimba ilmu di luar negeri termasuk mendalami ilmu qiraah hingga mendapatkan sanad. Ulama-ulama qiraah berkebangsaan Yaman, Arab Saudi, Mesir dan Sudan juga mulai berdatangan ke Indonesia memperkenalkan tradisi sanad.
Hasilnya, kita menemui geliat menghafal Al-Quran yang sudah ada di negeri ini mulai naik kelas dengan memperhatikan ilmu qiraah. Kesadaran bahwa Al-Quran bukan hanya soal menghafal tapi juga memperhatikan tahsin dan tajwid.
Perhatian pada tahsin dan tajwid menjadi fokus utama di pesantren kami, Salman Al-Farisi. Santri baru akan digemleng selama 6 bulan untuk memperbaiki bacaannya. Mereka diizinkan menghafal Al-Quran setelah dinilai lulus. Jika belum baik bacaannya harus belajar kembali sampai matang.
Saat ini, menyandang sebagai penerima sanad masih menjadi sesuatu yang prestisius. Bahkan lembaga Al-Quran bersanad menjadi tren karena banyaknya peminat. Semua ini kebaikan, namun perlu beberapa hal yang harus diperhatikan. Jangan sampai sanad itu menjadi tujuan utama.
Tujuan mendalami Al-Quran untuk pengamalan meraih tujuan pokok yaitu ridha Allah ta’ala. Jangan sampai sanad malahan merubah niat. Penghafal Al-Quran mencari sanad bukan bertujuan untuk sum’ah, popularitas atau mencari pendapatan duniawi. Bahkan sanad tidak boleh menjadi suatu kebanggaan.
Sanad bukanlah tujuan lembaga pendidikan Al-Quran tetapi bagaimana para santri bisa membaca sesuai kaidah ilmu qiraah, memahami kandungannya dan mengamalkannya. Namun jika bisa memperoleh sanad, merupakan fadhilah dari Allah ta’ala.
Ust. Sanif Alysyahbana, Lc Direktur Pondok Pesantren Islam Al-Farisi, Alumni Universitas Al-Iman Yaman.