Menjadi pejuang hadits tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu tekad yang kuat, pengorbanan dan ketawadhuan untuk mewarisi sabda baginda mulia Rasulullah salallahu alaihi wassalam. Siapapun yang bercita-cita menjadi ulama harus menguasai hadits dan Allah akan memperindah wajah orang yang menghafal hadits, sebagaimana sabda beliau:
“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain).” (HR. Abu Dawud)
Tengoklah Imam Al-Bukhari rahimahullah, dengan anugerah kecerdasan dan kuatnya hafalan, harus berpayah-payah menjadi ulama hadits. Harus melewati berbagai macam alang rintang hingga namanya menjadi harum hingga akhir zaman.
Sejak usia sepuluh tahun, beliau rahimahullah bersemangat mendatangi majlis-majlis ilmu hadits yang tersebar di negeri Bukhara. Belajar dengan tekun tanpa kenal lelah. Menginjak usia remaja, beliau telah hafal kitab-kita hadits dari kalangan tabiut tabiin. Hafalannya mencapai tujuh ribu hadits lengkap dengan sanadnya secara mutqin (halafan diluar kepala).
Diawal usia 18 tahun, beliau berangkat berhaji lalu tinggal dua dua kota suci untuk memperdalam ilmu hadits. Mulai dari sinilah beliau melahirkan karya-karya ilmiah yang fenomenal. Karyanya yang paling tinggi yaitu penelitian 600 ribu hadits untuk menemukan 7275 hadits shahih yang terkenal dengan nama Kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini diselasaikan selama 16 tahun.
Dalam menyusun Shahih Bukhari beliau menggunakan metode penelitian yang cermat, rumit lagi hati-hati. Untuk mempertahankan akurasinya, beliau harus menempuh perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk menemui seribu perawi. Bahkan sebelum memasukkan sebuah hadits dalam kitabnya, beliau melakukan shalat istikharah memohon pertolongan Allah.
Bukhari bukan hanya cerdas, juga teguh saat badai fitnah melanda. Misalnya saat beliau dikucilkan masyarakat Naisabur hanya gara-gara propaganda kedengkian ulama lainnya. Beliau lebih memilih husnuzhan, tidak mau membuka permusuhan dengan saudara muslim dan memilih meninggalkan Naisabur menuju Bukhara.
Tetapi badai terus menerpa beliau, pemerintah Bukhara mengusir beliau karena tuduhan memecah belah masyarakat. Beliau lalu meninggalkan tanah kelahirannya demi kemaslahatan umat. Dengan tubuhnya yang kurus di usia 62 tahun, ia terus bersabar berjalan menyusuri ujian. Sesaat setelah sampai di Samarkand Allah memanggilnya, mewariskan karya ilmiah yang tak ternilai harganya yang diimbangi dengan amal nyata.
Oleh: Ust. Abdurrahim Ba’asyir, Ketua Pembina Yayasan An-Nubala Karanganyar