Sebagai orang tua, kita ingin anak-anak kita menjadi para pejuang hadits seperti Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Al-Albani atau Ath-Tharifi. Tentunya mereka tidak serta merta menjadi pakar secara instan, ada sebuah proses panjang yang berliku.
Latar belakang bagaimana mereka menjadi pejuang hadits sangat menarik untuk dikaji. Tujuannya agar dapat diteladani keluarga muslim, sehingga muncul regenerasi ulama hadits di akhir zaman. Apa saja yang diperlukan untuk melahirkannya?
Rumus Mencetak Pejuang Hadits
Ust. Wahyu Dwi Prastyo Lc, pengajar di Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi memberikan beberapa rumusan penting untuk orang tua yang ingin anaknya menjadi pejuang hadits.
Pertama: Sejak dini orang tua hendaknya menanamkan kecintaan anak pada sosok Rasulullah salallahu alahi wassalam. Saat anak sudah cinta dengan pribadi Rasul maka dia akan meneladani melalui hadits-hadits. Setelah anak tertarik dengan hadits, orang tua masuk pada step selanjutnya.
Kedua: Mengajarkan anak hafalan hadits ringan seperti Arbain Nawawiyah, Kitab Al-Jami dalam Bulughul Maram dll. Selain haditsnya ringkas dan mudah dihafal, hadits-hadits tersebut menekankan pada adab. Sehingga anak akan terbina dengan akhlak yang baik melalui hadits yang telah dihafalnya.
Ketiga: Menghafal kitab-kitab hadits yang lebih besar seperti Umdatul Ahkam atau Bulughul Maram, kemudian baru menghafal kitab-kitab hadits besar seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tapi tentunya ini perlu kelas lebih lanjut setelah anak mengkhatamkan hafalan Quran dan mengerti bahasa Arab.
Keempat: Mempelajari biografi para ahlul hadits, seperti kesungguhan mereka dalam mempelajari hadits dan menghafalkannya bisa menjadi motivasi besar bagi anak untuk mempelajari hadits-hadits Rasulullah salallahu alahi wassalam.
Usia Menghafal Hadits
Tidak ada aturan baku usia anak diperbolehkan menghafal hadits. Kapanpun siap, anak bisa saja diperkenalkan untuk menghafal hadits-hadits ringan. Tentunya belajar tajwid dan hafalan Al-Quran harus lebih diutamakan.
“Hafalan Al-Quran dan hadits ringan bisa dilakukan beriringan. Namun untuk menghafal lanjutan, sebaiknya anak menyelesaikan dahulu hafalan Al-Quran,” terang Ust. Wahyu.
Tujuan Menghafal Hadits
Hadits adalah wahyu yang memerinci Al-Quran. Orang menghafal hadits memiliki dua tujuan utama; untuk diamalkan dan sebagai hujjah.
Tanpa pengamalan, hafalan hanya sebagai beban ilmiah, karena ilmu itu sebagai bekal pengamalan. Sedang hujjah maknanya adalah menjadi dalil, jadi dia akan beramal sesuai sunah bukan sekedar ikut-ikutan orang. Bahkan ulama lebih mengutamakan orang yang hafal dalil daripada orang yang tidak hafal dalil. Salah seorang ulama berkata:
من حفظ حجة علي من لم يحفظ
“Siapa yang hafal menjadi hujah bagi yang tidak hafal.”
Sistem Pengajaran Hadits PP Salman
Menurut Ust. Wahyu, santri-santri PP. Salman Al-Farisi diizinkan menghafal hadits setelah menamatkan hafalan Al-Quran secara mutqin dan memahami bahasa Arab. Karena keutamaan menghafal Al-Quran lebih tinggi daripada menghafal hadits.
Dengan pemahaman bahasa Arab yang baik, santri juga lebih mudah mengerti makna hadits yang dihafal. Sehingga bukan hanya kalimat-kalimat hadits berbahasa arab saja yang ia hafal tapi juga paham artinya.
Sebelum memasuki hafalan hadits, santri harus menghafal Al-AJurumiyyah dan mengkaji Kitab Mutamimah sebagai pondasi tata bahasa Arab. Setelahnya ada Kitab Al-Baiquniyah dan Nuzhatun Nazhar dalam bidang ilmu musthalah hadits.
“Di pesantren kami, setelah selesai hafalan Al-Quran secara mutqin dan menyelesaikan kitab-kitab bekal bahasa Arab barulah santri akan menghafal matan hadits. Dimulai dari Arbain, Kitab Al-Jami Bulughul Maram dan Umdatul Ahkam. Tingkat selanjutnya santri terpilih akan kita kirim mengikuti daurah hadits yang dibimbing para syeikh dari Timur Tengah untuk menghafal Al-Jam’u Bainash Shahihain,” kata Ust. Wahyu alumni Universitas Al-Iman Yaman.
Oleh: Ust. Wahyu Dwi Prastyo Lc, pengajar di Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi, Alumni Universitas Al-Iman Yaman.