Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasr: 10)
Kita tidak mungkin dapat menyamai amalan sahabat, bahkan untuk mengejar seujung kukunya pun tidak akan mampu. Sebagai murobi (pendidik), kita juga tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia seperti sahabat. Dengan apapun caranya mustahil mencapai derajat seperti mereka.
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam telah bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ
“Jika salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud pun maka tidak akan sama (kedudukannya) dengan mereka, bahkan tidak juga setengahnya.” (Muttafaq alaih)
Di zaman kita ini, andai seseorang berinfak fisabilillah seberat gunung Uhud tidak mungkin akan sebanding dengan infak setengah tapak tangannya sahabat radhiyallahu anhum. Artinya, kita tidak mungkin dapat menyamai ilmu, ibadah, amalan bahkan ujian mereka. Bahkan 10 persennya pun tidak mungkin!
Timbangan ini juga berlaku antara kita dengan generasi dakwah satu tingkat sebelum kita. Bahwa amalan kita tidak dapat melampaui amalan mereka.
Terdapat kaidah yang harus kita perhatikan dalam menimbang amalan orang-orang sebelum kita:
المتأخر لا يمكن أن يبلغ شأن المتقدمين
“Generasi setelahnya tidak akan mungkin dapat menyambangi kedudukan generasi sebelumnya.”
Sahabat, meskipun kita tidak bisa sampai pada derajat mereka, namun ada satu cara untuk mencapainya, yaitu cinta. Amalan hati yang harus kita perhatikan. Seseorang dapat mencintai suatu kaum padahal mereka tidak pernah bertemu. Seseorang dapat mencapai sahabat dengan mencintai mereka.
Rasulullah shalallahu ‘alaiahi wasallam bersabda:
يحشر المرء مع من يحب
“Seseorang dibangkitkan dengan yang dia cintai.”
Hadits di atas mengajarkan kita keutamaan amalan hati. Kita tidak bisa mencapai sahabat dengan amalan jawarih (anggota badan) tetapi hanya dengan cinta kita bisa menyentuhnya.
Jika kita bisa mencintai Abu Bakar radhiyallahu anhu dengan makna cinta hakiki, saat itu kita bersama dengan yang kita cintai. Begitupun, bila kita dapat mencintai Umar, Utsman, Ali, Saad bin Abi Waqash, Zubair bin Awam, Ibunda Khadijah, Ibunda Aisyah, Ibunda Maimunah, Atikah dan sahabat lainnya radhiyallahu anhum kita akan dibangkitkan dengan orang-orang yang kita cintai. Mereka adalah kaum yang agung yang memenuhi semesta dengan kebaikan dan keimanan, semoga kita mencintai mereka semua.
Tetapi bagaimana kita bisa mencintai mereka padahal jeda lima belas abad memisahkan antara kita? Dengan cara mempelajari sirah kehidupan mereka, akhlak dan amalannya. Kita membenamkan potret kehidupan mereka dalam hati kita supaya tumbuh subur keimanan.
Jadi, kita tidak mungkin sampai pada derajat mereka. Tetapi yang kita inginkan, “kita hidup menyelami makna”, meskipun dengan derajat terendah sahabat. Artinya, andai kita bisa mengamalkan sepuluh amalan sahabat saja, kita sudah menjadi orang paling bahagia di dunia!
Al-Quran ada pada kita, sayangnya terhijab. Kita perlu membuka hijab tersebut dengan membaca sirah sahahat sebagai cermin. Amal perbuatan tidak akan bisa dikerjakan dengan baik kecuali terdapat contoh nyata.
Harus ada gambar yang indah dan cermin yang jernih. Seandainya gambarnya cantik tetapi dihadapkan pada cermin yang buram, gambar yang cantik itu tidak akan terlihat dalam cermin. Justru kita melihatnya sebagai gambar yang buruk. Begitupula sebaliknya, sejernih apapun cermin tetap akan menampilkan gambar yang jelek apabila dari sononya gambar buram.