Beberapa tahun ini terjadi banyak perbincangan baik di kalangan masyarakat maupun akademisi tentang perlunya pengkajian ulang terhadap pendidikan moral di sekolah. Pendapat ini didasarkan pada munculnya berbagai macam masalah sosial yang justru banyak dilakukan oleh anak sekolah, dikategorikan sebagai bentuk perilaku menyimpang.
Salah satu kompetensi hasil belajar yang harus dicapai pelajar adalah kompetensi efektif, selain kompetensi kognitif (pemahaman) dan psikomotorik (keterampilan). Tujuan dari peningkatan kemampuan efektif ini adalah menolong individu menguasai berbagai life skills (keterampilan hidup).
Menurut penelitian, pembekalan keterampilan-keterampilan hidup ini merupakan salah satu kompetensi utama yang harus dicapai pelajar, sebagai bagian dari proses pengembangan kepribadian dan kecakapan profesional sekaligus. Diantara kecakapan tersebut diantaranya empati.
Empati adalah pondosi dari semua interaksi hubungan antar manusia. Kemampuan untuk merasakan kondisi emosional orang lain. Empati berkaitan erat dengan tingkah laku moral seseorang. Anak yang memiliki kemampuan berempati dapat digolongkan sebagai anak yang “baik, saleh”, yang lembut hati, yang memikirkan perasaan orang lain, yang mengarahkan diri mereka sendiri kepada orang lain.
Peran Empati dalam Pendidikan
Sekolah tanpa pendidikan empati hanya menghasilkan siswa-siswa cerdas tanpa ruh, hanya menjadi generasi milineal yang hampa tujuan hidup. Jika kita bertanya apa karakteristik dari pelajar yang sukses maka banyak ahli psikologi pendidikan menjawab: berpengetahuan, mampu menentukan diri sendiri, strategis dan empatik.
Menurut Ust. Abdurrahim Sarjuman Lc. guru Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menumbuhkan kepedulian pada lingkungan dan terutama pada orang lain, sesama muslim. Pendidik tidak boleh hanya membentuk watak anak yang individualis, dia harus memikirkan umat ini.
“Kami di Pesantren, tidak menginginkan santri-santri hanya pandai dalam akademis saja. Kalau soal akademis kita lihat di sini tidak terlalu banyak targetnya. Tapi bagaimana santri memiliki athifah (kepekaan) terhadap kondisi-kondisi orang lain.” terang alumni universitas Al-Iman Yaman ini pada Sanabil.
Islam Agama Empati
Islam sedari awal telah mencanangkan pendidikan empati sebagai kurikulum pokok. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Bara bin Azib radhiyallahu anhu: Beliau shalallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang yang bersin, menunaikan sumpah, menolong orang yang terzhalimi, memenuhi undangan dan menebarkan salam. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Perkara yang sederhana namun mampu memupuk empati. Bukan hanya teoritis, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah mencontohkan suri tauladan yang baik. Dengan pendidikan empati seperti inilah para sahabat mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan sehingga dunia terbebas dari kejahiliyahan dan ketidak-adilan.
Empati untuk Uyghur
Bangsa muslim Uyghur yang kini tengah mengalami deskriminasi dan penindasan dari pemerintah komunis China menimbulkan reaksi keras dunia Islam. Di Indonesia sendiri digelar berbagai aksi damai menuntut pemerintah melakukan tindakan strategis-diplomatif untuk menekan pemerintah Tiongkok.
Melibatkan anak-anak, siswa dan santri dalam aksi damai pembelaan Uyghur merupakan salah satu bentuk pendidikan empati yang sangat efektif. Agar mereka bisa merasakan penderitaan saudara seiman, bergerak menolong sesuai kemampuan, mendoakan dan memikirkan.
“Turun melakukan aksi damai Uyghur menjadi bagian dari proses tarbiyah imaniyah praktek langsung. Awalnya anak-anak tidak mengetahui apa itu Uyghur, sekarang setidaknya mereka paham nun jauh di sana ada saudara-saudara mereka yang tertindas. Ini adalah pendidikan empati yang luar biasa bagus. Mereka menjadi lebih semangat menuntut ilmu,” kata Ust. Abdurrahim Sarjuman.
Oleh: Ust. Abdurrahim Sarjuman Lc. Guru di Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi.