Fenomena menjamurnya gadget dikalangan anak-anak patut diwaspadai dan disikapi dengan bijak oleh orang tua dan pelaku pendidikan. Hasil riset UNICEF bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dipublikasikan pad 2014 menyebutkan, 30 juta anak Indonesia intensif menggunakan internat. Tentu saja bila ada data kekinian tentu kita akan melihat peningkatan yang mencengangkan.
Gadget selain media telekomunikasi juga media hiburan. Islam memberikan kebebasan untuk mencari hiburan apapun, selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Karena, hiburan yang keluar dari norma-norma Islam, sejatinya adalah bumerang yang dapat membahayakan psikis maupun sosial. Untuk itu, kita harus pintar memilah dan memilih hiburan mana yang layak kita nikmati untuk menghilangkan rasa jenuh.
Bila menilik sejarah para salafush shalih, kita akan menemukan interpretasi tentang hiburan yang berbeda. Bagi mereka, hiburan adalah sesuatu yang dapat mengantarkan mereka menuju kebahagiaan hakiki.
Sebagaimana yang dirasakan oleh Nabi kita shalallahu alaihi wassalam, “Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan mendirikan shalat.” (HR. Ahmad). Beliau juga pernah bersabda, “Rasa senang-Ku, kurasakan dalam Shalat.” (H.R. Al-Hakim).
Hiburan para salaf adalah hiburan yang berorientasi pada akhirat, sedangkan gadget bagi anak justru hiburan yang banyak bahayanya. Bahkan boleh dibilang sangat berpotensi mengancam keberlangsungan program edukasi menuju generasi paripurna.
Sejatinya orang tua telah banyak menyadari problem besar ini, namun kadang lingkungan tidak mendukung. Ketika orang tua dan kakak-kakaknya yang telah dewasa menggunakan gadget, anak-anak terpancing menggunakannya. Apalagi lingkungan di luar rumah yang sulit dikontrol oleh para orang tua.
Pengalaman Ust. Sanif Alisyahbana, Direktur Pondok Pesantren Salman Al-Farisi, gadget menjadi faktor utama anak terhalangi dari Al-Quran. Seorang santri yang liburan bermain gadget sepekan, memperbaikinya perlu waktu satu semester. Tentu saja akan menguras energi seluruh pihak.
Beberapa orang tua mencari solusi persoalan ini dengan bertindak tegas pada anak. Dari membatasi akses hingga menyita gadget anak. Tapi tindakan ini menimbulkan masalah baru. Si anak menjadi sering melawan orang tua atau mencari pelampiasan lain di luar rumah. Mengatasi sebuah masalah tapi timbul masalah lain lagi.
Solusi paling efisien yaitu; menyekolahkan anak di pendidikan pesantren. Karena di pendidikan sistem boarding ini, anak sama sekali tidak diperkenankan memegang gadget. Lalu anak tersibukkan dengan kegiatan belajar dan aktivitas pesantren yang sangat teratur. Dengan sendirinya anak akan terhindar dari gadget tanpa ada efek samping.
Persoalannya, usia anak masuk pesantren ketika SMP. Lalu apa solusinya untuk anak yang masih SD dan tinggal bersama orang tua?Perlu pemikiran cermat dari seluruh komponen umat Islam mencari solusi yang paling jitu. Bagaimana generasi ini terselematkan dari teknologi tersebut tanpa ada dampak.
Pesantren Mahasiswa (PESMA) Salman Al-Farisi Surakarta, mengumpulkan beberapa aktivis mahasiswa muslim untuk memikirkan masalah ini. Sebagian besar mereka dari UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) dan Mahad Abu Bakar Ash-Shidiq.
Riset dilakukan sekitar satu tahun dengan melakukan pengamatan, wawancara dengan orang tua dan anak. Hasil riset ini kemudian didiskusikan dengan para ustadz di Yayasan An-Nubala juga dengan beberapa para ustadz lainnya di Solo.
Hasilnya, perlu adanya suatu ekosistem yang baik di luar sekolah dan rumah. Lingkungan yang memanggil anak dekat dengan Al-Quran dan mendidik mereka dengan adab.
Setelah itu PESMA mencoba dengan membuat pesantren kilat Al-Quran pada bulan ramadhan dan syawal untuk mengisi liburan anak. Alhamdulillah respon para orang tua sangat positif. Dari pengalaman ini kemudian PESMA mendirikan mulazamah Al-Quran non boarding untuk anak.
Waktu mulazamah Al-Quran sore hari setelah anak pulang sekolah selama tiga kali sepekan di Solo. Program ini sebenarnya mirip TPA. PESMA hanya merubah dari sisi sistem pembelajaran, modul dan penekanan pada pengajaran adab. Posisi guru bukan hanya mengajar tapi mentarbiyah pola anak dengan bekerjasama dengan orang tua.
Semoga ikhtiar ini menjadi salah satu solusi kembalinya generasi Qurani tanpa gadget.
Oleh: Ust. Amin Mukhlas, Mahasiwa S2 UMS, Direktur PESMA Salman Al-Farisi Surakarta.