Oleh : Ustadzah Jumi Yanti Sutisna
(Staf Pengajar Kuttab Salman Al-Farisi)
Masterpiece menurut kamus Bahasa Indonesia-Inggris adalah mahakarya atau karya besar. Mendengar hal ini, tentulah terpikir sesuatu yang membanggakan bukan? bahkan sangat membanggakan dan memberi kepuasan tersendiri.
Mengapa demikian? Karena masterpiece biasanya disukai dan dibutuhkan orang, diantara penyebab masterpiece disukai dan dibutuhkan salah satunya karena keindahan atau kebermanfaatan yang dihasilkan.
Dan masterpiece bisa memberi kepuasan tersendiri bagi pembuatnya karena masterpiece biasanya dihasilkan dari proses berlelah-lelah yang tidaklah mudah.
Sesuatu yang sangat membanggakan dan memberi kepuasan tersendiri, biasanya menjadi sebuah tantangan bagi kaum laki-laki untuk mendapatkannya. Ya, seorang laki-laki menurut sifat dasarnya seharusnya ia menginginkan dalam hidupnya memiliki masterpiece.
Bagaimana? Anda seorang laki-laki apakah ada keinginan memiliki masterpiece? Seharusnya ada ya, karena itu sudah menjadi sifat dasar laki-laki.
Banyak contoh-contoh masterpiece yang tersebar di bumi ini, dari masterpiece yang dibanggakan hanya di dunia saja hingga masterpiece yang dapat dibanggakan didunia dan dikehidupan akhirat. Nah sebagai laki-laki muslim, masterpiece seperti apa yang akan Anda akan wujudkan?
Sudah barang tentu laki-laki muslim menjawab dengan tegas akan mewujudkan masterpiece yang dapat dibanggakan tidak hanya di dunia namun pula diakhirat. Hal ini relate dengan doa yang sangat dianjurkan, yakni :
Rabbanaa, aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban naar
Artinya: “Ya Rabb kami, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Lindungilah kami dari siksa neraka.”
Rabb kita memerintahkan untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat, masterpiece yang dibanggakan didunia dan diakhirat. Inilah yang akan membedakan masterpiece seorang muslim dengan yang lainnya.
Jika masterpiece seorang cleaning service dari Jepang bernama Soichiro Honda adalah motor Honda yang ternama hingga kini. Maka masterpiece yang dimiliki Sultan Murad II seorang muslim adalah anaknya yang bernama Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel yang langkah dan semangatnya menjadi inspirasi kaum muslimin hingga kini, yang menghasilkan izzah bagi agama Allah di bumi ini.
Sampai disini, apakah yang Anda pikirkan tentang masterpiece yang akan Anda capai? Apakah berkaitan dengan pekerjaan di kantor atau penemuan-penemuan yang akan Anda dedikasikan kepada agama sehingga dapat dibanggakan di dunia dan akhirat?
Ya, itu pun bagus, sangat bagus. Namun, contoh masterpiece yang dimiliki Sultan Murad II mungkin bisa direnungkan dengan mendalam. Kemudian contoh masterpiece yang dimiliki Najmuddin Ayub yaitu anaknya yang bernama Shalahuddin Al-Ayubi pembebas Baitul Maqdis, masterpiece Ismail bin Ibrahim ayah Imam Bukhari adalah anak yang menjadi prawi hadist shahih, masterpiece Lukmanul Hakim adalah anak yang mentauhidkan Allah hingga upaya Lukman dalam membentuk masterpiece diabadikan dalam Al-Quran. Mari kita renungkan contoh-contoh ini.
Ya, masterpiece yang dimiliki Sultan Murad II, Najmuddin Ayub, Ismail bin Ibrahim dan Lukmanul Hakim seolah menjadi alarm yang berdering keras untuk para ayah, untuk para laki-laki bahwa masterpiece utama yang harus diwujudkan adalah masterpiece dari anak-anaknya dan istri.
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)
Inilah, salah satu masterpiece utama bagi laki-laki, menjaga keluarga dari api neraka dan menjadikan mereka bermanfaat untuk makhluk didunia dan penyelamat di akhirat. Pembawa kebaikan dunia dan diakhirat.
Lalu bagaimana cara mewujudkan masterpiece dari anak-anak kita dan keluarga?
Tiada lain adalah dengan mendidik mereka. Ya, dengan mendidik mereka.
O, bukankah itu tugas istri sebagai madrasah bagi anak-anak? Laki-laki cukup menyediakan fasilitas dengan mencari nafkah dan berdakwah diluar rumah.
Benarlah istri adalah madrasah bagi anak-anak dirumah, namun tahukah Anda, sang suamilah yang menjadi kepala sekolahnya. Dapat kita bayangkan, madrasah tanpa kepala sekolah, bagai seonggok lembaga tanpa arah dan akhirnya lelah. Kecuali madrasah dengan latar belakang kompetensi guru-gurunya yang bagus, seorang istri yang memang telah paham mendidik, namun bagaimana pun madrasah atau istri sangat butuh kerjasama dan bimbingan suami dalam mendidik. Suami pun akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dihadapan Allah.
Kemudian menengok lagi pada Sultan Murad II, Najmuddin Ayub, Ismail bin Ibrahim, Lukmanul Hakim dan masih banyak lagi contoh bahwa laki-laki lah pemegang pendidikan keluarga. Bahkan contoh Ismail bin Ibrahim, ia mampu mendidik istri sehingga sang istri sepeninggal suami mampu meneruskan visi misi suami yang ingin menjadikan anaknya ahli hadist, terwujudlah masterpiece Imam Bukhari. Allah pun memberi kode dalam kalam sucinya Al-Quran, menceritakan percakapan-percakapan antara ayah dan anaknya seperti percakapan Ibrahim dengan anaknya Ismail, percakapan Yakub dengan anaknya Yusuf, percakapan Lukmanul Hakim. Bukankah ini sebuah kode bahwa pendidikan anak dan keluarga ada ditangan ayah? tanggung jawab ayah?
Jika hari ini banyak audiens majlis-majlis parenting adalah dari kalangan wanita, lalu bagaimana seorang laki-laki akan paham bagaimana ia harus menjadi kepala sekolah dari madrasah keluarga? Bagaimana seorang laki-laki mengatasi kenakalan anaknya, apakah dengan menyalahkan istri yang tak becus mendidik anaknya? Anak rewel, sang suami langsung menyalahkan istrinya, seperti inikah? Sang kepala sekolah menyalahkan madrasahnya tatkala mendapati kenakalan pada murid-muridnya tanpa mencari tau bagaimana kompetensi madrasahnya, tanpa memberi bimbingan kepada madrasahnya.
Tragedi tahun 2006, cukuplah menjadi pelajaran berharga, dimana seorang ibu berbusana syar’i sehari-hari dan rutin mengikuti taklim, namun membunuh tiga anak kandungnya karena merasa khawatir dan tidak sanggup mendidik anak-anaknya sendirian. Bagaimana bisa ia merasa sendirian dalam mendidik, bukankah ia bersuami? Rupanya penjelasan dari sang pengacara semua beban mendidik dilimpahkan pada istri. Semoga ini tidak terjadi lagi.
Ayo laki-laki Muslim, para ayah, para suami inilah tantangan Anda, mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah bagai menghasilkan berlian tentu harus melalui proses yang panjang dan berlelah-lelah. Butuh ilmu pula untuk mewujudkannya. Majlis-majlis parenting seharusnya lebih banyak dihadiri oleh para ayah karena ia adalah kepala madrasah. Dan bukankah menjadi sebuah kebanggaan dan kepuasan saat masterpiece itu terwujudkan.
Ya, masterpiece Anda adalah anak dan istri kesayangan.