Sebagian orang memandang hujan sebagai fenomena alam belaka. Hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat kemudian jatuh ke bumi.
Namun, bagi seorang Muslim ia akan melihat segala sesuatu dari sudut pandang keimanan terlebih dahulu. Sebagaimana dikemukakan di dalam Al-Qur’an bahwa hujan adalah rahmat dari Allah.
وَهُوَ ٱلَّذِى يُرْسِلُ ٱلرِّيَٰحَ بُشْرًۢا بَيْنَ يَدَىْ رَحْمَتِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَٰهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ ٱلْمَآءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِۦ مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ ۚ كَذَٰلِكَ نُخْرِجُ ٱلْمَوْتَىٰ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)… (QS. Al-A’raf: 57).
Ayat senada seperti di atas juga disampaikan dalam Asy-Syura ayat 28 dan Ar-Rum 50. Kedua ayat tersebut juga menegaskan bahwa hujan adalah rahmat.
Mengapa demikian? Karena dengan hujan, Allah kucurkan kasih sayang dengan meluaskan rezeki kepada seluruh mahluknya di bumi tanpa diskriminasi.
Proses terjadinya hujan dari uap air merupakan mekanisme siklus (daur ulang) air yang ada di bumi agar beredar dan memberi manfaat pada makhluk-makhluk yang ada di pegunungan, di lembah-lembah, dan tempat-tempat yang boleh jadi sangat jauh dari danau atau samudera luas. Dengan mekanisme itulah manusia dan makhluk-makhluk lain mengambil manfaat untuk hidup dan kehidupannya.
Istilah yang digunakan oleh ayat Al-Qur’an dalam proses siklus air ini memberi manfaat besar dan luas adalah ‘mubārakan’ (memberi berkah atau manfaat).
وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً مُّبَٰرَكًا فَأَنۢبَتْنَا بِهِۦ جَنَّٰتٍ وَحَبَّ ٱلْحَصِيدِ
Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) yang diberkahi, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, (QS. Qaf: 9).
Oleh sebab itu, turunnya hujan harus disyukuri, karena berbagai manfaat yang Allah berikan lewat hujan begitu banyak dan tak ternilai. Wujud syukur itu, ketika Allah berikan hasil bumi yang melimpah dan menyejahterakan, maka hal tersebut semakin menghantarkan manusia untuk mendekat kepada Rabbnya. Di situlah letak keberkahan, yaitu dengan bertambahnya kebaikan.
Lalu, tahukah kita bahwa hujan yang turun ternyata diatur dalam takaran tertentu. Hal telah disampaikan dalam kitabullah, semenjak 14 abad yang lalu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُومٍ
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS. Al-Hijr: 21).
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِى نَزَّلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءًۢ بِقَدَرٍ فَأَنشَرْنَا بِهِۦ بَلْدَةً مَّيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ
Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). (QS. Az-Zukhruf: 21).
Al-Imam Ibnu Katsir mengutip penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari tentang ayat di atas, bahwa tidaklah Allah turunkan hujan melainkan dengan ukuran yang telah ditetapkan.
قال يزيد بن أبي زياد، عن أبي جحيفة، عن عبد الله: ما من عام بأمطر من عام، ولكن الله يقسمه حيث شاء عامًا هاهنا، وعامًا هاهنا. ثم قرأ: { وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنزلُهُ إِلا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ } رواه ابن جرير
Yazid bin Abu Ziyad meriwayatkan dari Abu Juhaifah, dari Abdullah, bahwa tidak ada tahun yang lebih banyak hujannya daripada tahun yang lain, tetapi Allah membaginya sesuai dengan kehendak-Nya, satu tahun hujan turun di sini dan satu tahun di sana. Kemudian membaca ayat: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” Diriwiyatkan oleh Ibnu Jarir. (Tafsir Ibnu Katsir, IV/530).
Apa yang disampaikan dalam Al-Qur’an, kemudian terbukti secara ilmiah, bahwa memang benar bahwa hujan turun dengan takaran yang tepat.
Dari sisi kecepatan turunnya hujan, titik hujan memiliki bentuk khusus seperti parasut yang mampu membantu turun ke bumi dengan kecepatan yang lebih rendah, yakni hanya 8-10 km/jam. Padahal, ketinggian minimum awan adalah sekitar 12.000 meter. Ketika turun dari ketinggian ini, sebuah benda yang yang memiliki berat dan ukuran sebesar tetesan hujan akan melaju dengan kecepatan 558km/jam, bisa menghancurkan pemukiman, tanaman, kendaran dan lain sebagainya.
Kemudian, pada lapisan atmosferis tempat terjadinya hujan, temperatur bisa saja turun hingga 400oC di bawah nol. Meskipun demikian, tetesan-tetesan hujan tidak berubah menjadi partikel es yang bisa menjadi ancaman mematikan bagi semua makhluk hidup di muka bumi. Alasan tidak membekunya tetesan-tetesan hujan tersebut adalah karena air yang terkandung dalam atmosfer merupakan air murni.
Totalnya, air sebanyak 505,000 cubic kilometres (121,000 cu mi) jatuh sebagai hujan setiap tahunnya di seluruh dunia. Air senantiasa berputar dalam suatu siklus yang seimbang menurut “ukuran atau kadar” tertentu.
Subhanallah, betapa penuh rahmatnya Allah Ta’ala yang telah menurunkan hujan dengan kadar tertentu, yang memberikan berbagai manfaat.
Namun, hujan yang penuh rahmat itu bisa saja menjadi azab dan musibah. Hal itu karena ulah tangan manusia sendiri. Yakni, saat manusia ingkar, kufur nikmat dan melampaui batas. Sikap tamak dan rakus manusia, menjadikan mereka tak puas dengan hasil bumi yang ada, lalu melakukan pembalakan liar hingga menggunduli hutan. Maksiat yang merusak ekosistem itu mengakibatkan ketika hujan turun, tak ada lagi pepohonan sebagai sumber resapan alami dan penyangga tanah seperti sedia kala. Sehingga terjadilah bencana longsor, banjir bandang dan berbagai musibah lainnya.
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ (11) وَفَجَّرْنَا الأرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ (12)
Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. (QS. Al-Qamar: 11-12).
Maka, sudah seharusnya manusia bermuhasabah atas bencana yang menimpa. Ambillah pelajaran, bahwa seluruh manusia yang hidup hari ini adalah anak cucu para survivor atau penyintas banjir di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam. Kemudian bertaubatlah, hentikan segala kemaksiatan pengundang adzab dan merusak alam.
Semoga Allah menurunkan hujan yang penuh berkah dan rahmat serta menjuhkan dari segala musibah dan laknat.