Orang-orang shalih senantiasa khawatir apabila amal mereka tidak diterima Allah Ta’ala. Gambaran ini ada di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al Mukminun: 60).
Al-Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, menjelaskan ayat di atas seraya mengutip dialog Ummul Mu’minin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta perkataan salafush shalih,
قال الحسن: يؤتون الإخلاص ويخافون ألا يقبل منهم. وروى الترمذي عن عائشة رضى الله عنها زوج النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالت: سألت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن هذه الآية” وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ ما آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ ” قالت عائشة: أهم الذين يشربون الخمر ويسرقون؟ قال: (لا يا بنت الصديق ولكنهم الذين يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون ألا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في الخيرات (. وقال الحسن: لقد أدركنا «1» أقواما كانوا من حسناتهم أن ترد عليهم أشفق منكم على سيئاتكم أن تعذبوا عليها
“AI-Hasan berkata, ‘Mereka melakukan keikhlasan dan mereka takut keikhlasan dari mereka itu tidak diterima.’
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah, isteri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dia berkata,
Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang ayat ini ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’
Apakah mereka itu orang-orang yang minum minuman keras dan mencuri?
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لاَ يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِى الْخَيْرَاتِ
‘Tidak wahai binti Ash-Shiddiq (puteri Abu Bakr Ash-Shiddiq, pen.). Akan tetapi, mereka itu rajin puasa, shalat dan sedekah. Namun mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itu adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.’
AI-Hasan berkata,`Kami pernah menemukan beberapa kaum yang sangat merasa takut kebaikan mereka tidak diterima daripada kalian merasa takut akan disiksa karena kesalahan-kesalahan kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi, XII/132).
Pertanyaan penting sebagai evaluasi bagi diri kita, jika orang-orang shalih terdahulu yang sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam saja merasa takut amal mereka tidak diterima, lantas bagaimana dengan kita?
Maka perhatikanlah, bagaimana sikap salafus shalih pasca Ramadhan. Mereka melakukan berbagai hal yang diharapkan bisa menjadi jalan agar amal shalih mereka diterima Allah Ta’ala, di antaranya:
Pertama, berdoa. Allah Ta’ala amat dekat dengan orang yang berdoa kepadaNya dan doa seorang mukmin memiliki pengaruh yang kuat di sisiNya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi).
Sampai-sampai, untuk perkara sepele sekalipun mereka memohon kepada Allah lewat doa,
وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته
“Dahulu para salaf meminta kepada Allah dalam shalatnya, semua kebutuhannya sampai-sampai garam untuk adonannya dan tali kekang untuk kambingnya” (Jami’ Al Ulum wal Hikam, 1/225).
Jika hal yang dianggap remeh saja dahlulu para salaf menyampaikan lewat doa, apalagi perkara penting yang berkaitan dengan diterimanya amal. Maka tak heran, bila mereka -baik sebelum maupun sesudah Ramadhan- giat berdoa kepada Allah Ta’ala,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
“Mereka (para sahabat) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadhan. Kemudian mereka pun berdoa selama enam bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Lathaaiful Ma’arif hal. 232).
Kedua, istiqamah. Konsisten menjaga ketaatan pasca Ramadhan insya Allah menjadi salah satu tanda diterimanya amal seseorang. Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata,
فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده كما قال بعضهم : ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة و عدم قبولها
“Karena sesungguhnya Allah Ta’ala jika menerima amalan seorang hamba maka Ia akan memberikan hidayah untuk beramal shalih setelahnya. Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama: Ganjaran sebuah amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Maka barangsiapa yang beramal dengan sebuah amal kebaikan kemudian mengiringinya dengan amal kebaikan setelahnya merupakan tanda diterimanya amal kebaikan sebelumnya. Demikian juga barangsiapa yang beramal kebaikan kemudian mengiringinya dengan amal keburukan setelahnya maka hal itu merupakan tanda ditolaknya dan tidak diterimanya amal kabaikan sebelumnya.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 244).
Maka, mari kita berusaha untuk istiqamah melestarikan amal shalih pasca Ramadhan seperti puasa sunnah, qiyamuallail, sedekah, tilawah Al-Qur’an dan lain-lain. Karena, Ramadhan memang hanya sebulan, tetapi kebaikan Ramadhan seharusnya dilanjutkan sepanjang tahun.
بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ إِنَّ الصَّالِحَ الَّذِي يَتَعَبَّدُ وَ يَجْتَهِدُ السَّنَةَ كُلَّهَا
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Ingat, orang shalih yang sejati adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang tahun.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 390).
Ketiga, berusaha menjadi lebih baik. Ramadhan adalah madrasah bagi kaum muslimin sebagai tempat menempa diri dengan membiasakan amal shalih selama sebulan penuh. Dengan harapan, kebiasaan baik yang sudah terbangun selama Ramadhan bersenyawa dalam diri seseorang selamanya. Sehingga, ia menjadi pribadi yang lebih baik setelah itu.
Jika sebelumnya seseorang malas melaksanakan shalat, maka bulan Ramadhan menjadikannya terbiasa melaksanakan shalat. Hingga seterusnya ia tak lagi meninggalkan shalat sepanjang hidupnya. Tak hanya itu, shalatnya menjadi lebih baik, yakni dengan berjamaah ke masjid serta menambahnya dengan shalat-shalat sunnah seperti rawatib, dhuha, tahajjud dan witir.
Jika seorang muslimah sebelumnya enggan berhijab, Ramadhan telah mengajarinya untuk biasa berhijab. Maka jangan tanggalkan hijab di luar Ramadhan.
Demikian pula dengan ibadah serta amal shalih yang lain, semisal puasa, sedekah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain.
Jika Ramadhan tak merubah akhlak menjadi lebih baik setelahnya, lantas dengan apa lagi seseorang akan berubah?
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali mengutip perkataan Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ هُوَ يُحَدِّثُ نَفْسَهُ إِذَا أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يَعْصِ الله دَخَلَ الجَنَّةَ بِغَيْرِ مَسْأَلَةٍ وَ لاَ حِسَابٍ وَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ هُوَ يُحَدِّثُ نَفْسَهُ إِذَا أَفْطَرَ عَصَى رَبَّهُ فَصِيَامُهُ عَلَيْهِ مَرْدُوْدٌ
“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan terbetik dalam hatinya, nantinya ba’da Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia bertekad tidak akan bermaksiat pada Allah, maka ia akan masuk surga tanpa masalah, tanpa dihisab. Namun siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan ia terbetik dalam hatinya ba’da Ramadhan setelah tidak berpuasa lagi, ia akan bermaksiat pada Allah, maka puasanya tertolak.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 390).
Demikian tulisan ini, semoga Allah membimbing kita untuk istiqamah dan menjadi pribadi yang lebih baik setelah Ramadhan. Wallahu a’lam.