Seorang muslim ketika terjadi musibah dan bencana, seyogianya merenungi hikmah di balik itu. Dalam kacamata iman, bencana bukan sekedar fenomena alam semata.
Musibah dan bencana adalah kehendak Allah. Namun, Allah tidak zalim kepada hambaNya. Maksudnya, pasti ada pemicu yang membuat bencana itu turun dan menimpa penduduk suatu negeri. Allah Ta’ala berfirman,
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat di atas begitu populer disampaikan para dai, muballigh, asatidz dan ulama saat bermuhasabah atas bencana yang terjadi. Secara eksplisit, disebutkan bahwa kerusakan yang timbul karena perbuatan tangan manusia. Jadi, bukannya alam yang mendatangkan bencana, sehingga terjadi kerusakan yang menimpa atau mengganggu kehidupan manusia, sebaliknya interaksi buruk manusia dengan alam yang mengakibatkan timbulnya bencana. Selain itu, ada sebab-sebab lain sebagaimana diuraikan selanjutnya.
Pertama, menyekutukan Allah atau syirik. Al-Imam Al-Qurthubi mengungkapkan dalam tafsirnya tentang surat Ar-Rum ayat 41,
فَقَالَ قَتَادَةُ وَالسُّدِّيُّ: الْفَسَادُ الشِّرْكُ، وَهُوَ أَعْظَمُ الْفَسَادِ
Qatadah dan As-Suddi berkata, al-fasad (kerusakan) adalah syirik, karena itu adalah kerusakan yang paling besar (Tafsir Al-Qurthubi, XIV/40).
Allah sangat murka atas dosa syirik yang dilakukan manusia, sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an,
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91)
Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh,karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (QS. Maryam: 90-91).
Oleh sebab itulah dosa syirik tak diampuni, bila pelakunya tidak bertaubat sebelum mati. Ironisnya, kesyirikan yang tersebar di suatu daerah justru dianggap budaya yang perlu dilestarikan dengan cover kearifan lokal.
Kedua, maksiat. Perhatikan, bagaiman peristiwa ini telah disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad silam, kemudian renungkan apakah saat ini hal itu tengah terjadi?
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ ، وَقَذْفٌ ، وَمَسْخٌ ” ، قِيلَ : وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ ، وَاسْتُحِلَّتِ الْخَمْرُ
“Di akhir zaman nanti akan ada peristiwa khasf (orang-orang ditenggelamkan ke dalam bumi), qadzf (dihujani batu) dan maskh (diubah wajahnya menjadi buruk)”. Beliau ditanya, “Kapankah hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ketika alat-alat musik dan para biduanita telah merajalela, serta khamr di anggap halal”. (HR. Ath-Thabarani).
Ketahuilah, jangankan manusia, alam pun menjadi resah, tak rela di atas hamparan bumi ini rusak karena tersebar kemaksiatan. Abul ‘Aliyah berkata,
مَنْ عصى الله في الأرض فقد أفسد في الأرض؛ لأن صلاح الأرض والسماء بالطاعة
Barang siapa yang berbuat maksiat kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. (Tafsir Ibnu Katsir, VI/320).
Alam baru bisa beristirahat, ketika si ahli maksiat itu tiba ajalnya.
أالْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
Seorang hamba yang mukmin adalah orang yang beristirahat dari keletihan dunia dan kesulitannya. Sedangkan seorang hamba yang fajir/gemar maksiat maka hamba Allah yang lain, negeri dan pepohonan serta hewan yang beristirahat dari gangguannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Imam An-Nawawi berkata tentang hadits di atas,
وَاسْتِرَاحَة الْبِلَاد وَالشَّجَر ، فَقِيلَ : لِأَنَّهَا تُمْنَع الْقَطْر بِمُصِيبَتِهِ ، قَالَهُ الدَّاوُدِيُّ
Sedangkan istirahatnya bumi/suatu negeri dan tumbuhan dari gangguannya karena (kemaksiatannya) akan mencegah turunnya hujan dan akan menimbulkan musibah. Demikian dikatakan Ad-Dawudi. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, III/368)
Ketiga, mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar. Allah Ta’ala berfirman,
وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal: 25).
Ayat di atas berbicara tentang suatu kondisi di mana maksiat merajalela, kemudian orang-orang yang menyaksikannya tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ حَتَّى يَرَوُا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ، فَلَا يُنْكِرُونَهُ، فَإِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللَّهُ الْخَاصَّةَ وَالْعَامَّةَ
Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengazab masyarakat secara umum karena perbuatan individu tertentu sampai mereka melihat kemungkaran tersebar di antara mereka, sedangkan mereka mampu mengingkarinya tetapi mereka enggan mengingkarinya. Jika mereka melakukan hal itu, Allah mengazab individu secara khusus maupun masyarakat secara umum (HR Ahmad dan ath-Thabarani).