Bertaubat pada dasarnya bisa dilakukan kapan saja dan harus sesegera mungkin. Sebagaimana tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits,
عَنْ عَلِيٍّ يَقُولُ إِنِّى كُنْتُ رَجُلاً إِذَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدِيثًا نَفَعَنِى اللَّهُ مِنْهُ بِمَا شَاءَ أَنْ يَنْفَعَنِى بِهِ وَإِذَا حَدَّثَنِى رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ اسْتَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِى صَدَّقْتُهُ وَإِنَّهُ حَدَّثَنِى أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku adalah seorang lelaki, jika aku telah mendengar sebuah hadits dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allâh Azza wa Jalla memberiku manfaat yang Dia kehendaki dengan perantara hadîts itu. Jika ada salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan sebuah hadits kepadaku, maka aku akan memintanya bersumpah. Jika dia telah bersumpah kepadaku, maka aku mempercayainya. Dan sesungguhnya Abu Bakar telah memberitakan sebuah hadits kepadaku, dan Abu Bakar telah berkata jujur, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang melakukan dosa, lalu dia berdiri kemudian bersuci lalu menunaikan shalat, setelah itu memohon ampun kepada Allâh, kecuali Allâh pasti akan mengampuninya.” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali Imrân/3: 135]. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ahmad).
Jadi kapan pun seseorang melakukan maksiat, lalu ia ingat kepada Allah bahwa itu adalah dosa, maka semestinya detik itu pula ia bertaubat. Bahkan jika kita melihat hadits di atas, disunnahkan melaksanakan shalat taubat.
Jangan tunda waktu untuk bertaubat, karena tidak ada yang pernah tahu kapan seseorang tiba ajalnya. Hatim Al-Asham rahimahullah berkata,
كَانَ يُقَالُ العَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلاَّ فِي خَمْسٍ إِطْعَامِ الطَّعَامِ إِذَا حَضَرَ الضَّيْفُ وَتَجْهِيْزِ المَيِّتِ إِذَا مَاتَ وَتَزْوِيْجِ البِكْرِ إِذَا أَدْرَكَتْ وَقَضَاءِ الدَّيْنِ إِذَا وَجَبَ وَالتَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ إِذَا أَذْنَبَ
Ketergesa-gesaan itu berasal dari setan, kecuali dalam lima perkara:
1- menyajikan makanan ketika ada tamu
2- mengurus mayit ketika ia mati
3- menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya
4- melunasi utang ketika sudah jatuh tempo
5- segera bertaubat jika berbuat dosa.”
(Hilyah Al-Auliya, VIII/78).
Manfaatkan momentum Sya’ban untuk hijrah dan menyegerakan taubat, agar seorang muslim lebih siap menghadapi Ramadhan. Sehingga ketika Ramadhan usai, seorang muslim telah sempurna menggapai maghfirah (ampunan) yang amat luas dari Allah Ta’ala.
وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran: 133)
Jangan sampai seseorang masih bergelimang maksiat ketika Ramadhan tiba. Sehingga bukan ampunan yang didapat, tetapi laknat dari Allah Ta’ala, sebagaimana hadits tentang doa malaikat Jibril ‘alaihissalam berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَقِيَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ“، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ ! فَقَالَ: ” قَالَ لِي جِبْرِيلُ: أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ.ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ .ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “
Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, bahwa suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam naik mimbar dan beliau bersabda, “Amin, amin, amin.” Ditanyakan kepada beliau, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.
(HR. Ibnu Khuzaimah)
Demikian pula, apabila seseorang pernah berbuat zalim, menyakiti orang lain dan berbagai perilaku buruk yang berkaitan dengan anak adam, wajib bersegera meminta maaf serta meminta keikhlasan pada orang yang bersangkutan.
Adapun pada umumnya kaum muslimin meminta maaf kepada orang tua, sanak saudara, kawan dan tetangga di bulan Sya’ban, ini bukanlah hal yang tercela. Sepanjang ia memahami meminta maaf bisa dilakukan kapan saja dan tidak perlu ditentukan waktunya secara khusus.
Bukankah Allah menjanjikan ampunan di bulan istimewa ini, tetapi hal itu tidak berlaku kepada orang yang bermusuhan, sebagaiman hadits tentang nishfu Sya’ban,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah).
Sekarang pertengahan Sya’ban telah lewat, sementara masih ada saja sesama muslim yang cekcok, marahan, saling mendiamkan tak bertegur sapa, lantas mau sampai kapan perselisihan itu dibiarkan? Apakah layak memasuki Ramadhan dengan memendam permusuhan?
Maka silahkan saling bermaafan. Jika maaf itu tulus dari hati yang terdalam -bukan sekedar broadcast basa basi- insya Allah akan berbuah pahala, hubungan pun kembali rukun. Karena di antara syarat taubat ketika seseorang melakukan dosa adalah menyesali perbuatan itu, lalu mengehentikannya secara total dan tidak mengulanginya di kemudian hari.
Mari perbaiiki diri di sisa waktu bulan Sya’ban ini, agar kita bisa memanfaatkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.