Santri diizinkan menghafal Al-Quran setelah dinyatakan lulus tahsin dan tajwidnya setelah proses perbaikan selama 6 bulan. Mulailah mereka menghafal Al-Quran di bawah asuhan seorang musyrif. Setiap halaqah berjumlah sekitar 10 santri.
Santri memulai hafalan dari juz 30 kemudian juz 1 sampai juz 29. Ponpes Salman Al-Farisi menekankan pada kekuatan hafalan (mutqin), bukan pada banyaknya hafalan. Hafal 1 juz tapi mutqin lebih baik daripada hafal 10 juz tapi tidak mutqin. Tuntutannya adalah hafal mutqin. Namun pesantren tetap memberikan target hafalan yaitu; sehari wajib setoran 1/4 hafalan baru dan 1/4 murojaah (mengulang hafalan).
Agar santri mencapai hafalan yang mutqin, setiap hafalan harus diikat dengan hafalan sebelumnya. Misalnya hafalan baru satu halaman harus diikat dengan dua halaman sebelumnya dan seterusnya. Musyrif akan selalu memeriksa hafalan-hafalan sebelumnya agar tidak lupa.
Setelah hafal 1 juz, santri diharuskan setoran sekali duduk (juziyah) dengan standar toleransi kesalahan maksimal 3 kesalahan. Bila dalam juziyah lebih dari 3 kali kesalahan harus mengulang setoran dari awal tidak boleh melanjutkan juz baru.
Setelah hafal 3 juz, santri harus setoran juziyah 3 juz tersebut dengan standar toleransi kesalahan sama seperti sebelumnya, maksimal 3 kesalahan. Nanti santri akan juziyah kembali setelah hafal 5 juz, demikian seterusnya.
Dengan model seperti ini, setiap hafalan harus diikat dengan hafalan sebelumnya. Targetnya mutqin. Jika santri telah hafal 30 juz, dia harus juziyah tanpa ada kesalahan lebih dari 3. Jika terdapat kesalahan lebih dari 3 dia harus mengulang juziyah kembali dari juz 1 sampai benar-benar mutqin.
Konsep pembelajaran hafalan Al-Quran ini diambil dari sebuah kaidah:
من لم يتقن الاصول حرم الوصول
“Siapa yang tidak memperkuat pondasi tidak akan sampai ke tujuan.”