“Pembawa Al-Qur’an adalah pembawa panji Islam, tidak sepantasnya ia berbuat sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, tidak lalai bersama orang-orang yang lalai, tidak berbuat yang tidak bermanfaat seperti orang-orang yang berkata dan berbuat yang tidak bermanfaat. Sikap ini sebagai bentuk mengagungkan Al-Qur’an”.
Nasihat emas ini ditujukan oleh Imam Fudhail bin Iyyadh rahimahullah kepada para penghafal Al-Quran. Tugas para penghafal bukan hanya sekedar menghafal saja, tapi harus menjaga adab serta akhlak. Dia menjadi suri tauladan baik bagi masyarakat sekitar dari aqidah, ibadah dan adab. Saat itulah penghafal Al-Quran pantas menjadi pembawa panji Islam.
Surat Al-Ashr memandu, seseorang yang berilmu harus beramal. Karena inti ilmu khasyatullah, takut pada Allah, bukan banyaknya hafalan. Seperti kita menanam pohon kelengkeng, jika dia tidak berbuah tidak bermanfaat tanaman kita.
Dilema hari ini, sebetulnya sudah tampak gejalanya di zaman Imam Fudhail bin Iyyadh rahimahullah, banyak penghafal Al-Quran hanya sekadar menghafal. Memindahkan ayat-ayat dalam mushaf ke kepala. Allah memperumpamakan dengan keledai yang membawa kitab-kitab. Tidak bermanfaat ilmu yang dia bawa justru hanya menjadi beban di dunia dan di akhirat.
كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”. (Al-Jumah: 5)
Penghafal Al-Quran, terlebih pemegang sanad qiraah, harus menjaga kemurnian aqidah, ibadah serta akhlak. Sebab hafalan dan sanad bukan cuma ijazah ilmiah saja tetapi juga pengamalan. Dengan demikian, semakin banyak para penghafal Al-Quran tentunya masyarakat akan semakin baik, negara juga makin baik.
Namun apabila tidak diamalkan, saat itu kita harus memperhatikan peringatan dari Imam Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah: “Waspada tiga hal di zamanmu; alim sultan (penguasa/pemerintah), qari pasar dan ahli ibadah yang suka pamer”.
Sufyan Ats-Tsauri dengan perkataan hikmah ini mengumpulkan tiga jeratan Iblis pada orang awam yang menyeretnya menjadi tersesat karena sebab mereka. Salah satunya yaitu hafizh Qur’an atau orang yang ahli qiraat yang tidak beramal. Beliau menyebutnya dengan qari pasar. Posisi mereka sangat tinggi di hadapan manusia sekaligus berpotensi merusaknya, sebab itu wajib mewaspadainya.
Qari pasar, telah menampakkan banyaknya kerusakan mereka hari ini. Setiap orang menyangka, suaranya yang indah dan fasih bukti bahwa dia pemilik al-haq dan hikmah, dia berhak berfatwa dan posisinya otomatis naik menjadi ahlul ilmi hanya karena indikasi manusia mencintai karena suaranya yang bagus.
Dia memperdengarkan bacaanya yang indah pada khalayak lalu berbicara ini itu sesuai dengan hawa nafsunya, seenak perutnya dia sendiri, padahal merupakan tindak kejahatan pidana luar biasa.
Menjamurnya ahli qiraat dan sedikitnya ulama merupakan ancaman bahaya bagi umat. Sebab itu siapa pun yang menyandangkan namanya dengan Al-Quran hendaknya menjaga dien Allah untuk dirinya agar tidak sesat dan menyesatkan masyarakat.
Ust. Rahmat Faqihuddin pengajar Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi, alumni Mahad Aly Darul Wahyain.