Lailatul Qadr adalah waktu yang istimewa, malam yang lebih mulia dari pada 1000 bulan. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3).
Al-Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir menjelaskan dengan gamblang tentang makna malam lailatul qadr yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana berikut ini:
قال كثير من المفسرين ، أي : العمل فيها خير من العمل في ألف شهر ليس فيها ليلة القدر . واختار هذا الفراء ، والزجاج ، ولك أن الأوقات إنما يفضل بعضها على بعض بما يكون فيها من الخير والنفع . فلما جعل الله الخير الكثير في ليلة كانت خيراً من ألف شهر لا يكون فيها من الخير والبركة ما في هذه الليلة . وقيل : أراد بقوله ألف شهر جميع الدهر؛ لأن العرب تذكر الألف في كثير من الأشياء على طريق المبالغة . وقيل : وجه ذكر الألف الشهر أن العابد كان فيما مضى لا يسمى عابداً حتى يعبد الله ألف شهر ، وذلك ثلاث وثمانون سنة وأربعة أشهر ، فجعل الله سبحانه لأمة محمد عبادة ليلة خيراً من عبادة ألف شهر كانوا يعبدونها . وقيل : إنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم رأى أعمار أمته قصيرة ، فخاف أن لا يبلغوا من العمل مثل ما بلغ غيرهم في طول العمر ، فأعطاه الله ليلة القدر وجعلها خيراً من ألف شهر لسائر الأمم .
Banyak ahli tafsir yang berpendapat yakni: Amal perbuatan yang dilaknkan pada malam itu lebih baik dari pada yang dilakukan selama seribu bulan tanpa Lailatul qadar. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al Farra’ dan Az-Zajjaj, karena waktu-waktu itu berbeda nilainya antara yang satu dengan yang lain, sesuai kebaikan dan manfaat yang di dalamnya.
Tatkala Allah Ta’ala menjadikan kebaikan yang sangat banyak pada suatu malam, yang lebih baik daripada seribu bulan, maka tidak ada kebaikan dan keberkahan pada malam-malarn dalam seribu bulan itu yang setara dengan kebaikan yang ada pada malam tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan seribu bulan, adalah sepanjang masa karena orang-orang Arab menggunakan istilah “seribu” untuk menyebutkan sesuatu yang banyak secara perumpamaan.
Ada yang berpendapat bahwa penyebutan istilah seribu bulan, karena seorang ahli ibadah tidak disebut sebagai ahli ibadah sampai ia beribadah selama seribu bulan atau sekitar 83 tahun 4 bulan.
Maka Allah menjadikan untuk umat Nabi Muhammad keistimewaan yaitu ibadah satu malam lebih baik daripada ibadah seribu bulan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat umur umat Islam sangat pendek maka ia khawatir umatnya tidak sampai dalam amal shalih seperti umat selainnya dalam umur yang panjang. Maka Allah memberikan umatnya malam lailatul qadr malam yang lebih baik dari seribu bulan bagi seluruh umatnya. (Fathul Qadir: VIII/33).
Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada umat Islam. Meski umur mereka lebih pendek dari umat terdahulu, Allah memberi karunia satu malam lailatul qadr agar umat Islam termotivasi dalam beribadah.
Jika dihitung 1000 bulan sama dengan 83 tahun 4 bulan. Apabila kita terbiasa menggiatkan diri di 10 malam terakhir Ramadhan untuk mendapatkan lailatul qadr selama 10 tahun, itu artinya nilai ibadah kita mencapai 833 tahun dan bahkan lebih baik dari itu, demikianlah perhitungan seterusnya.
Kapan kita bisa mendapati malam lailatul qadr?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan panduan waktu agar umat Islam bisa mempersiapkan diri menggapai lailatul qadr.
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ. متفق عليه
“Carilah lailatul Qadar pada hari-hari ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih).
Lebih kongkritnya dalam hadits lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari).
Terkait malam ganjil, di antara sahabat Rasulullah ada yang yakin dan berani memastikan kapan jatuhnya lailatul qadr. Salah satunya, Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu, ia bahkan bersumpah dengan nama Allah, bahwa lailatul qadr jatuh pada malam 27 Ramadhan.
«وَاللهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، إِنَّهَا لَفِي رَمَضَانَ، يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِي، وَوَاللهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ، هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا، هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا»
“Demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Sesungguhnya Lailatul qadr itu di bulan Ramadhan.
(perawi berkata), “Ubay bersumpah tanpa menyebut “insya Allah.” (Ubay melanjutkan kata-katanya), “Dan Demi Allah, saya mengetahui pada malam kapan dia (Lalilatul Qadr) itu; ia adalah malam di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita (memperbanyak ibadah) menghidupkannya.
Ia adalah malam ke 27. Dan tandanya adalah matahari terbit di pagi hari dalam keadaan putih tanpa sorotan sinar.” (HR. Muslim).
Selain itu, ada pula ulama yang memiliki membuat rumus tertentu untuk memprediksi jatuhnya malam lailaltul qadr.
كَمَا اخْتَارَهُ الْغَزَالِيُّ وَغَيْرُهُ وَقَالُوا : إنَّهَا تُعْلَمُ فِيهِ بِالْيَوْمِ الْأَوَّلِ مِنْ الشَّهْرِ فَإِنْ كَانَ أَوَّلُهُ يَوْمَ الْأَحَدِ أَوْ الْأَرْبِعَاءِ فَهِيَ لَيْلَةُ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ ، أَوْ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ فَهِيَ لَيْلَةُ إحْدَى وَعِشْرِينَ أَوْ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ أَوْ الْجُمُعَةِ فَهِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ ، أَوْ يَوْمَ الْخَمِيسِ فَهِيَ لَيْلَةُ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ ، أَوْ يَوْمَ السَّبْتِ فَهِيَ لَيْلَةُ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ .
Sebagaimana pilihan imam ghozali dan ulama lainnya, mereka berkata, sesungguhnya malam Lailatul Qodr bisa diketahui dengan melihat awal bulan Ramadhan. Jika awalnya jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-29. Jika awalnya jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-21. Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jum’at maka Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-27. Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-25. Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-23. (Hasyiyah Qulyubi, V/411).
‘Ala Kulli Hal, rumus prediksi tersebut adalah ijtihad ulama yang bisa benar dan bisa pula salah. Permasalahannya, bagaimana penerapan rumus tersebut bila dihadapkan penentuan awal dan akhir Ramadhan yang terkadang berbeda-beda.
Efek lainnya juga, menurut satu kelompok satu waktu dianggap ganjil, sedangkan menurut kelompok lainnya adalah waktu genap, misalnya; yang satu menggap bahwa malam nanti adalah malam 27 Ramadhan, tetapi yang lain beranggapan adalah malam ke 26.
Maka, menurut Al-Imam An-Nawawi malam lailatul qadr pada dasarnya tidak ada yang mengetahui kapan ia akan hadir dan berubah-ubah waktunya sebagaimana kehendak Allah Ta’ala dalam menentukannya.
Hal itu disampaikan An-Nawawi saat menjelaskan hadits Ubay bin Ka’ab yang telah disebutkan di atas.
فيه حديث أبي بن كعب أنه كان يحلف أنها ليلة سبع وعشرين وهذا أحد المذاهب فيها وأكثر العلماء على أنها ليلة مبهمة من العشر الأواخر من رمضان وأرجاها أوتارها وأرجاها ليلة سبع وعشرين وثلاث وعشرين واحدى وعشرين وأكثرهم أنها ليلة معينة لا تنتقل وقال المحققون إنها تنتقل فتكون في سنة ليلة سبع وعشرين وفي سنة ليلة ثلاث وسنة ليلة احدى وليلة أخرى وهذا أظهر وفيه جمع بين الأحاديث المختلفة فيها
Dalam hadits Ubay bin Ka’ab disebutkan bahwa ia telah bersumpah malam itu adalah malam ke-27. Pendapat ini merupakan salah satu madzhab yang berkenaan dengan masalah Lailatul Qadar. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam yang tidak diketahui.
Di antara sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan yang sangat diharapkan terjadi pada malam-malam ganjil kemudian lebih spesifik lagi yaitu malam 27, 23 dan 21.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam yang sudah ditentukan dan tidak berubah-ubah waktunya.
Namun, para ahli tahqiq (peneliti) mengatakan bahwa malam itu berubah-ubah sehingga dalam satu tahun bisa terjadi pada malam ke-27 dan pada tahun yang lain mungkin pada malam ke-23 atau malam ke-21 atau pun pada malam-malam lainnya.
Pendapat ini lebih jelas karena ini berarti menggabungkan beberapa hadits yang secara zhahirnya berbeda. (Syarh Shahih Muslim, VI/43).
Oleh sebab itu yang paling aman adalah sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni mencarinya di seluruh waktu malam 10 terakhir atau setidaknya di tujuh malam terakhir Ramadhan.
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Carilah malam lailatul qadr pada sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan. Jika salah seorang dari kalian itu lemah atau tidak mampu maka janganlah ia sampai ketinggalan mencarinya di tujuh malam tersisa” (HR. Bukhari & Muslim).
Dalam sebuah riwayat, Khalifah Umar bin Khattab menegaskan bahwa para sahabat bersepakat bahwa lailatul qadr adalah 10 malam terakhir Ramadhan.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: دَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُمْ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَأَجْمَعُوَا أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Ibnu Abbas berkata, ‘Umar mengundang para Shahabat Nabi Muhammad kemudian menanyai mereka tentang lailatul qodar. Mereka sepakat bahwa malam itu ada pada 10 hari terakhir Ramadhan.” (Al-Mushannaf Abdurrazak, IV/246).
Meningkatkan Ibadah
Bagi kaum muslimin hendaknya menguatkan ibadah di 10 malam terakhir Ramadhan agar berpeluang mendapatkan lailatul qadr, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ ، أحْيَا اللَّيْلَ ، وَأيْقَظَ أهْلَهُ ، وَجَدَّ وَشَدَّ المِئزَرَ. متفقٌ عَلَيْهِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir Ramadhan, beliau menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya, dan giat beribadah, serta mengencangkan ikatan sarungnya.” (Mutafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat yang lain,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim).
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan hadits di atas,
( أَحْيَا اللَّيْل ) أَيْ : اِسْتَغْرَقَهُ بِالسَّهَرِ فِي الصَّلَاة وَغَيْرهَا ، وَقَوْلهَا : ( وَأَيْقَظَ أَهْله ) أَيْ : أَيْقَظَهُمْ لِلصَّلَاةِ فِي اللَّيْل وَجَدَّ فِي الْعِبَادَة زِيَادَة عَلَى الْعَادَة .
فَفِي هَذَا الْحَدِيث : أَنَّهُ يُسْتَحَبّ أَنْ يُزَاد مِنْ الْعِبَادَات فِي الْعَشْر الْأَوَاخِر مِنْ رَمَضَان ، وَاسْتِحْبَاب إِحْيَاء لَيَالِيه بِالْعِبَادَاتِ .
(Menghidupkan malamnya) artinya menghabiskan seluruh malam harinya (begadang) untuk menjalankan shalat, dzikir dan ibadah-ibadah lainnya.
(Membangunkan keluarganya) artinya membangunkannya untuk mengerjakan shalat di malam hari dan bersungguh-sungguh menambahi kadar ibadah melebihi kebiasaan beliau dimalam lainnya.
Maka di dalam hadits ini bahwasanya disunnahkan menambah ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan disunnahkan pula menghidupkan malamnya dengan beribadah. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, IV/208).
Maka, ibadah apa saja yang bisa dikerjakan di sepuluh malam terakhir Ramadhan, di antaranya adalah sebagai berikut.
- I’tikaf. Salah satu yang dicontohkan Nabi adalah melaksanakan I’tikaf
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Qiyamullail. Hendaknya orang yang beri’tikaf mengisi malam harinya dengan qiyamullail
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari).
- Membaca Al-Qur’an, berdoa, istighfar dan memohon ampunan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ – رضى الله عنه – تَسَحَّرَا ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الصَّلاَةِ فَصَلَّى . قُلْنَا لأَنَسٍ كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِى الصَّلاَةِ قَالَ كَقَدْرِ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, lalu beliau mengerjakan shalat. Kami bertanya pada Anas tentang berapa lama antara selesainya makan sahur mereka berdua dan waktu melaksanakan shalat Shubuh. Anas menjawab, ‘Yaitu sekitar seseorang membaca 50 ayat (Al-Qur’an).’ (HR. Bukhari no. 1134 dan Muslim no. 1097).
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Pada setiap malam, Allah Ta’ala turun kelangit dunia, ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman:’ Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Dan Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku akan aku ampuni.” (HR. Bukhari 1145 dan Muslim 758).
Imam Nawawi mengatakan,
وفيه تنبيه على أن آخر الليل للصلاة والدعاء والاستغفار وغيرها من الطاعات أفضل من أوله
Dalam hadis ini terdapat pelajaran bahwa waktu akhir malam lebih afdhal digunakan untuk shalat, berdoa, beristighfar, dan melakukan ketaatan lainnya, dari pada waktu awal malam. (Syarh Shahih Muslim, 6/38).
Adapun doa khusus yang harus diperbanyak dalam menggapai lailatul qadr sebagaimana diajarkan Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam, disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar
روينا بالأسانيد الصحيحة في كتب الترمذي والنسائي وابن ماجه وغيرها عن عائشة رضي الله عنها قالتْ: قلتُ: يارسول اللَّه إن علمتُ ليلة القدر ما أقول فيها؟ قال: ” قُولي: اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فاعْفُ عَنِّي
قال أصحابَنا رحمهم الله: يُستحبّ أن يُكثِر فيها من هذا الدعاء، ويُستحبّ قراءةُ القرآن وسائر الأذكار والدعوات المستحبة في المواطن الشريفة.
قال الشافعي رحمه الله: أستحبّ أن يكون اجتهادُه في يومها كاجتهاده في ليلتها، هذا نصّه، ويستحبّ أن يُكثرَ فيها من الدعوات بمهمات المسلمين، فهذا شعار الصالحين وعباد الله العارفين.
Kami riwayatkan dari sanad yang shahih dalam kitab At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain bahwa Aisyah pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, andaikan aku mengetahui lailatul qadar, apa yang bagus aku baca?’ Rasulullah menjawab, ‘Bacalah:
اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فاعْفُ عَنِّي
‘Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.’
Ulama kami berkata, disunahkan memperbanyak baca doa ini, baca Al-Qur’an, zikir, dan doa-doa yang disunahkan pada tempat atau waktu yang mulia.
Imam As-Syafi’i berkata, ‘Aku menyukai memperbanyak ibadah tersebut di siang hari sebagaimana di malam hari.’ Dianjurkan juga memperbanyak doa-doa yang penting bagi umat Islam. Ini tanda orang-orang saleh dan hamba Allah yang arif. (Al-Adzkar Linnawawi, hal. 191).
- Sedekah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang amat antusias dalam bersedekah, apalagi di bulan Ramadhan.
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar bersedekah. Semangat beliau dalam bersedekah lebih membara lagi ketika bulan Ramadhan tatkala itu Jibril menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malamnya di bulan Ramadhan. Jibril mengajarkan Al-Qur’an kala itu. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling semangat dalam melakukan kebaikan bagai angin yang bertiup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Umrah. Bagi kaum muslimin yang memiliki kelebihan materi tentu umrah di bulan Ramadhan adalah momen yang sangat tepat.
Mereka yang berziarah ke masjidil haram, khususnya di sepuluh hari terakhir bisa menikmati syahdunya suasana Ramadhan di tanah suci, sambil beri’tikaf, thawaf, melaksanakan tarawih, sahur dan berbuka di sana. Tak hanya itu, umrah di bulan Ramadhan juga memiliki pahala yang besar.
فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ
“Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wanita yang Udzur
Apakah wanita yang sedang udzur seperti haid, dalam keadaan safar (perjalanan) dan semisalnya juga berkesempatan mendapatkan keutamaan malam lailatul qadr?
Pertanyaan tersebut sudah dijawab oleh salah seorang ulama salaf pakar hadits, Al-Imam Adh-Dhahak, sebagaimana dikutip oleh Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Lathaiful Ma’arif,
قال جويبر: قلت للضحاك: أرأيت النفساء والحائض والمسافر والنائم لهم في ليلة القدر نصيب؟ قال: نعم كل من تقبل الله عمله سيعطيه نصيبه من ليلة القدر.
إخواني المعول على القبول لا على الاجتهاد والاعتبار ببر القلوب لا بعمل الأبدان رب قائم حظه من قيامه السهر كم من قائم محروم وكم من نائم مرحوم نام وقلبه ذاكر وهذا قام وقلبه فاجر.
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur, apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”
Selanjutnya Ibnu Rajab menjelaskan,
“Wahai saudaraku, yang terpenting bagaimana membuat amalan itu diterima, bukan kita bergantung pada kerja keras. Yang jadi patokan adalah pada baiknya hati, bukan usaha keras badan. Betapa banyak orang yang begadang untuk shalat malam, namun tak mendapatkan rahmat. Bahkan mungkin orang yang tidur yang mendapatkan rahmat tersebut. Orang yang tertidur hatinya dalam keadaan hidup karena berdzikir pada Allah. Sedangkan orang yang begadang shalat malam, hatinya yang malah dalam keadaan fajir (berbuat maksiat pada Allah).” (Lathaiful Ma’arif, hal. 192).
Kesimpulannya, Insya Allah wanita yang udzur bisa mendapatkan kesempatan pahala lailatul qadr Karena, mereka bisa menghidupkan malam lailatul qadr dengan berbagai macam ibadah selain shalat, i’tikaf, thawaf dan semacamnya. Mereka bisa muraja’ah hafalan Al-Qur’an, berdzikir; tasbih, tahmid, takbir, tahlil, berdoa, istighfar, sedekah atau menyiapkan makan sahur bagi keluarga.
Terakhir, yang paling penting adalah menghadirikan hati dalam ibadah, bukan sekedar ritual tanpa makna apalagi hanya ikut-ikutan. Ibadah dengan hati yang ikhlas dan penuh harap (raja’) inilah yang akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Semoga Allah mudahkan kita untuk melaksanakan berbagai amal shalih dan menggapai lailatul qadr, sehingga kelak kita diberi ganjaran pahala yang lebih baik dari seribu bulan.