Ketika kegelapan jahiliyah dan kemusyrikan telah mencengkeram suatu negeri, maka hijrah menjadi solusi yang ditawarkan dalam Islam.
Para nabi ulul azmi seluruhnya mengalami hijrah, ketika dakwah tauhid ditolak oleh kaum mereka dan mendapatkan tekanan yang luar biasa. Sehingga ketika sampai pada puncak kezalimannya, maka Allah hancurkan kaum tersebut, imma Allah selamatkan nabiNya .
Nabi Nuh hijrah dengan bahtera, hingga berlabuh di bukit Judiy. Nabi Ibrahim juga hijrah dari tanah kelahirannya di Babilonia hingga ke Palestina. Nabi Musa hijrah dari kekejaman Fir’aun menyeberangi Laut Merah. Nabi Isa hijrah dengan Allah angkat ia ke langit. Begitu juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, mereka berhijrah dari Mekah ke Madinah. Bahkan, ashabul kahfi pun berhijrah dari kezaliman raja ke sebuah gua.
Jadi, jika mencermati kisah para nabi, pada dasarnya bisa disimpulkan syari’at hijrah telah dilakukan oleh para nabi dan umat sebelum datangnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Nubuwwah Hijrah Rasulullah
Namun demikian, ada yang spesial dari peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Perisitiwa hijrah itu ternyata merupakan nubuwwah yang sudah disampaikan kepada umat terdahulu, sebagai ciri melekat nabi akhir zaman yang akan datang, yakni Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hal itu sebagaimana kisah ketika Khadijah menemui pamannya Waraqah bin Naufal saat awal turunnya wahyu,
فقالت له خديجةُ: أيْ عمِّ، اسمَعْ مِن ابنِ أخيك فقال ورقةُ: ابنَ أخي، ما ترى ؟ فأخبَره رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ما رأى فقال ورقةُ: هذا النَّاموسُ الَّذي أُنزِل على موسى يا ليتَني أكونُ فيها جذَعًا أكونُ حيًّا حينَ يُخرِجُك قومُك فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أمُخرِجيَّ هم ؟ ! قال: نَعم لم يأتِ أحدٌ قطُّ بما جِئْتَ به إلَّا عُودِي وأوذي وإنْ يُدرِكْني يومُك أنصُرْك نصرًا مؤزَّرًا ثمَّ لم ينشَبْ ورقةُ أنْ تُوفِّي
Khadijah berkata kepada Waraqah, “wahai paman. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini”. Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia” (HR. Al Bukhari).
Kemudian, ditegaskan lagi dalam pengakuan Salman Al-Farisi. Ketika ia masih memeluk Nasrani seorang pemuka agama dari ‘Amuriyah berkata kepadanya,
قَالَ ثُمَّ نَزَلَ بِهِ أَمْرُ اللَّهِ فَلَمَّا حَضَرَ قُلْتُ لَهُ : يَا فُلانُ ! إِنِّي كُنْتُ مَعَ فُلانٍ ، فَأَوْصَى بِي فُلانٌ إِلَى فُلانٍ ، وَأَوْصَى بِي فُلانٌ إِلَى فُلانٍ ، ثُمَّ أَوْصَى بِي فُلَانٌ إِلَيْكَ ، فَإِلَى مَنْ تُوصِي بِي وَمَا تَأْمُرُنِي ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ ! وَاللَّهِ مَا أَعْلَمُهُ أَصْبَحَ عَلَى مَا كُنَّا عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ آمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَهُ ، وَلَكِنَّهُ قَدْ أَظَلَّكَ زَمَانُ نَبِيٍّ ، هُوَ مَبْعُوثٌ بِدِينِ إِبْرَاهِيمَ ، يَخْرُجُ بِأَرْضِ الْعَرَبِ مُهَاجِرًا إِلَى أَرْضٍ بَيْنَ حَرَّتَيْنِ ( الحرة : الأرض ذات الحجارة السود ) ، بَيْنَهُمَا نَخْلٌ ، بِهِ عَلامَاتٌ لا تَخْفَى : يَأْكُلُ الْهَدِيَّةَ وَلا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ ، بَيْنَ كَتِفَيْهِ خَاتَمُ النُّبُوَّةِ ، فَإِنْ استَطَعْتَ أَنْ تَلْحَقَ بِتِلْكَ الْبِلادِ فَافْعَلْ
“Orang itu berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun yang akan aku perintahkan kamu untuk mendatanginya. Akan tetapi telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi, dia diutus dengan membawa ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan keluar diusir dari suatu tempat di Arab kemudian berhijrah menuju daerah antara dua perbukitan. Di antara dua bukit itu tumbuh pohon-pohon kurma. Pada diri nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan, dia mau makan hadiah tetapi tidak mau menerima sedekah, di antara kedua bahunya terdapat tanda khatam nubuwwah (tanda kenabian). Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana!’.” (HR. Ahmad).
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya tentang sirah nabawiyah mengutip sikap Yahudi di Madinah ketika melihat kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
وقد رأي اليهود صدق بشارة حَبْقُوق النبي : إن الله جاء من التيمان، والقدوس من جبال فاران
Dan sungguh orang-orang Yahudi telah membenarkan pengabaran yang disampaikan Habakuk Sang Nabi, “Sesungguhnya Allah datang dari Taiman dan Sang Kudus datang dari Gunung Faran.” (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal. 135).
Apa yang ditulis oleh Syaikh Shafiyurrahman itu senada dengan yang tertulis dalam perjanjian lama dalam kitab Habakuk pasal 3 ayat 3.
Allah datang dari negeri Téman dan Yang Mahakudus dari pegunungan Paran. Sela Keagungan-Nya menutupi segenap langit, dan bumi pun penuh dengan pujian kepada-Nya. (Habakuk 3: 3).
Perjanjian lama merupakan bagian dari Bible yang diimani penganut Kristen. Berisi kitab-kitab yang ditulis sebelum diutusnya Yesus, diambil dari naskah Israel kuno. Isinya berupa kelima kitab torah (taurat), sejarah, puisi dan kisah para nabi yang salah satunya adalah kitab Habakuk. Kitab Habakuk ditulis oleh nabi Habakuk, sekitar 605 SM – 586 SM sebelum kerajaan Yehuda berada dalam pembuangan.
Kemudian, Habakuk pasal 3 ayat 3 juga pararel dengan Kitab Ulangan 33: 2, “Berkatalah ia: “TUHAN datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak bersinar dari pegunungan Paran dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala.”
Terkait dengan Padang gurun Paran dalam bahasa Ibrani: מִדְבַּר פָּארָן, Midbar Pa’ran; dalam bahasa Inggris: Desert of Paran atau Wilderness of Paran; kadang-kadang juga dieja Pharan atau Faran adalah lokasi yang disebutkan dalam Alkitab/Bible bahasa Ibrani. Merupakan salah satu tempat di mana orang-orang Israel menghabiskan sebagian waktu mereka ketika mengembara selama 40 tahun setelah keluar dari Mesir dan juga tempat kediaman Ismail dan keluarganya. Dalam tradisi Arab sering disamakan dengan daerah Hijaz.
Prof. David Benjamin Keldani seorang mantan pastur Katholik Roma sekte Uniate-Chaldean, memberikan penjelasan menarik dalam bukunya berjudul “Menguak Misteri Muhammad” tentang ayat-ayat bible yang membicarakan tentang Rasulullah, baik Habakuk 3: 3 maupun Ulangan 33: 2.
“Dan jika tidak dapat disangkal lagi, bahwa silsilah keturunan Muhammad merujuk kepada Ismail melalui Kedar dan ia tampil sebagai seorang nabi di padang gurun Paran dan menaklukkan Mekah dengan 10.000 pasukan dan menegakkan api (hukum) yang menyala kepada kaumnya, maka bukankah nubuat tesebut terpenuhi sesuai bunyinya?”
Masih ada ayat-ayat dalam Bible yang mengisyaratkan tentang Rasulullah dan peristiwa hijrahnya, seperti Yesaya 21:13-17, Yesaya 60:1-7 dan lainnya.
Intinya, orang-orang ahli kitab, baik Yahudi dan Nasrani pada dasarnya telah mengetahui melalui kitab-kitab mereka, akan datangnya nabi terakhir. Adapun salah satu cirinya, bahwa nabi tersebut akan mendapatkan penentangan, diusir oleh kaumnya dan berhijrah ke Madinah. Itulah sebabnya, orang-orang Yahudi banyak berkumpul dan turun-temurun tinggal di Madinah. Salah satunya untuk menunggu kedatangan nabi akhir zaman.
Begitu istimewanya peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga hal itu tertulis dalam kitab-kitab umat terdahulu. Namun, karena nabi yang datang itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berasal dari bangsa Arab, bukan berasal dari kalangan Bani Israel, mereka menutup mata dan enggan mengakuinya.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ يَهُودَ كَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَبْعَثِهِ فَلَمَّا بَعَثَهُ اللَّهُ مِنْ الْعَرَبِ كَفَرُوا بِهِ وَجَحَدُوا مَا كَانُوا يَقُولُونَ فِيهِ فَقَالَ لَهُمْ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَبِشْرُ بْنُ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ ودَاوُد بْنُ سَلَمَةَ : يَا مَعْشَرَ يَهُودَ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَسْلِمُوا فَقَدْ كُنْتُمْ تَسْتَفْتِحُونَ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ أَهْلُ شِرْكٍ وَتُخْبِرُونَا بِأَنَّهُ مَبْعُوثٌ وَتَصِفُونَهُ بِصِفَتِهِ فَقَالَ سَلَامُ بْنُ مُشْكِمٍ أَخُو بَنِي النَّضِيرِ : مَا جَاءَنَا بِشَيْءِ نَعْرِفُهُ وَمَا هُوَ بِاَلَّذِي كُنَّا نَذْكُرُ لَكُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ : { وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ }
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata “Sesungguhnya orang Yahudi dahulu berharap untuk menundukkan kaum Aus dan Khazraj dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Allah mengutus beliau dari bangsa Arab, mereka kufur kepadanya dan mengingkari ucapan yang dulu pernah mereka sampaikan. Hingga Muadz bin Jabal, Bisyr bin Al-Barra bin Ma’rur dan Dawud bin Salamah menyampaikan kepada orang Yahudi, ‘Wahai orang Yahudi, bertakwalah kepada Allah dan masuklah ke dalam Islam! Dulu kalian ingin menundukkan kami dengan kehadiran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kami masih musyrik. Kalian sampaikan kepada kami bahwa beliau akan diutus dan kalian juga menceritakan sifat beliau kepada kami.’”
Lalau Salam bin Misykam dari Bani Nadhir membantahnya,”Belum datang kepada kami nabi yang kami kenal, sama sekali. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang pernah kami ceritakan kepada kalian.” Dengan sebab ini, Allah turunkan surat Al-Baqarah ayat 89 dan 90:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Majmu’ Al-Fatawa, I/298).
Makna dan Tujuan Hijrah
Hijrah umat terdahulu dimudahkan dengan berbagai mukjizat yang menakjubkan, Nabi Musa dengan memukulkan tongkatnya, maka lautan terbelah. Ashabul kahfi Allah beri kehidupan meski tertidur selama 309 tahun di dalam gua. Maka, mukjizat dalam hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam salah satunya membuat para jagal Quraisy tertidur dengan melemparkan segenggam tanah. Tak hanya itu, hal yang paling menakjubkan adalah bagaimana Rasulullah membuat perencanaan yang matang dan pola perjuangan dengan hijrah, agar bisa diikuti oleh umatnya sepanjang masa.
Iman, hijrah dan jihad merupakan pola perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat dalam meraih kejayaan Islam. Lebih dari itu, pada dasarnya tiga tahapan itu mereka tempuh, semata-mata untuk mendatangkan rahmat Allah. Ketika rahmat Allah turun, maka semua akan Allah mudahkan.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, merekalah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]: 218).
Tahapan hijrah berada di tengah sebagai konsekuensi iman, pemisah antara hak dan batil, serta pijakan menuju tahap pengerahan kekuatan jihad, jika hal itu diperlukan.
Hijrah, bukan untuk lari dari kenyataan. Hijrah adalah bukti pengorbanan. Nabi Nuh harus kehilangan istri dan anaknya yang menolak ikut dalam bahtera. Nabi Ibrahim harus meninggalkan ayahnya Azar yang memilih menyembah berhala. Nabi Isa harus berpisah dari ibundanya Maryam dan para Hawari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat, harus meninggalkan tanah air tercintanya, harta bendanya, bahkan sanak keluarganya. Saat itulah, keimanan benar-benar diuji, ke manakah loyalitas sejati itu disandarkan.
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-taubah: 24).
Sebagaimana pula disampaikan dalam ungkapan seorang motivator dan penulis asal Palestina, Adham Syarqawi,
لو كان الولاء للأرض ما ترك النبي مكة و لو كان للقبيلة ما قاتل قريشا و لو كان للعائلة ما تبرأ من أبي لهب و لكنها العقيدة أغلى من التراب و الدم!
Seandainya loyalitas tertinggi itu bagi tanah air, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tidak meninggalkan Makkah. Seandainya loyalitas tertinggi itu bagi suku bangsa, tentu bangsa Quraisy tidak diperangi. Dan seandainya loyalitas tertinggi itu bagi keluarga, tentu Abu Lahab tidak dimusuhi. Akan tetapi loyalitas itu hanya bagi aqidah, karena ia lebih mahal dari tanah dan darah.
Oleh sebab itu, seorang muslim sebagai pionir gerakan Islam, harus memahami substansi hijrah yang sesungguhnya. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri menyampaikan tentang makna dan tujuan hijrah yang sangat penting,
لم يكن معنى الهجرة التخلص والفرار من الفتنة فحسب، بل كانت الهجرة تعنى مع هذا تعاونًا على إقامة مجتمع جديد في بلد آمن، ولذلك أصبح فرضًا على كل مسلم يقدر على الهجرة أن يهاجر ويسهم في بناء هذا الوطن الجديد، ويبذل جهده في تحصينه ورفعة شأنه .
Makna hijrah bukanlah sekedar upaya melepaskan diri dari intimidasi semata. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, makna hijrah itu adalah upaya saling menopang untuk membangun masyarakat baru di negeri yang aman. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban bagi setiap muslim mengupayakan hijrah, agar orang yang berhijrah memiliki andil dalam membangun tanah air yang baru, mengerahkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh dalam menjaganya dan menjunjung upaya tersebut. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal. 138).
Jika hijrah itu cukup sekedar menyelamatkan iman, melindungi para pemeluknya, maka hal itu sudah didapatkan di negeri Habasyah, tempat hijrah sebelumnya. Di mana, Raja Najasyi yang adil telah memberikan perlindungan kepada para delegasi sahabat Rasulullah. Mereka pun diperlakukan dengan istimewa.
Tetapi atas bimbingan Allah, tujuan akhir hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Yatsrib. Di lokasi itu, benih-benih kebangkitan Islam disemai para sahabat yang telah melakukan baiat aqobah secara bergelombang.
Tak hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengirimkan duta Islam, Mush’ab bin ‘Umair yang memiliki peran strategis. Mush’ab membangun social engineering (rekayasa sosial) lewat pembinaan intensif di tengah masyarakat, agar negeri baru itu siap menjadi pusat bertumpunya kekuatan Islam.
Hijrah Mendatangkan Pertolongan Allah
Biidznillah, dengan pertolongan Allah, apa yang ditabur selama ini, menuai hasil yang menggembirakan. Yatsrib, menjadi negeri yang tertata dengan sistem pemerintahan yang baik semenjak hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Di kemudian hari negeri itu berubah, dari kejahiliahan menjadi negeri berperadaban, cahaya kebangkitan terpancar darinya, sehingga dirubah Namanya dari Yatsrib menjadi Al-Madinah Al-Munawwarah.
Inilah yang telah Allah janjikan, sebuah tempat yang didambakan, penuh dengan kelapangan.
وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak… (QS. An-Nisa: 100)
Hijrah, menjadi penanda sebuah fase baru perjalanan Islam. Dalam Al-Qur’an, surat-surat yang turun setelah Rasulullah hijrah disebut Madaniyah. Surat Madaniyyah umumnya berisi tentang perincian hukum, ibadah dan muamalah. Hal ini karena obyek dakwah ketika itu adalah orang-orang yang tauhid dan aqidahnya telah kuat terpatri dalam jiwa mereka.
Pasca hijrah, dengan basis pendukung/masyarakat yang telah terbina, kemudian disyariatkan perjuangan dengan menggunakan kekuatan jihad. Sampai akhirnya, umat Islam mendapatkan kemenangan demi kemenangan, dari mulai perang Badar, fathu Makkah, menaklukkan dua imperium Persia dan Romawi, hingga menguasai dua pertiga belahan bumi.
Syaikh Abdullah bin Nashir As-Sa’di menyampaikan penjelasan surat An-Nisa ayat 100 di atas dalam tafsirnya,
واعتبر ذلك بالصحابة رضي الله عنهم فإنهم لما هاجروا في سبيل الله وتركوا ديارهم وأولادهم وأموالهم لله، كمل بذلك إيمانهم وحصل لهم من الإيمان التام والجهاد العظيم والنصر لدين الله، ما كانوا به أئمة لمن بعدهم، وكذلك حصل لهم مما يترتب على ذلك من الفتوحات والغنائم، ما كانوا به أغنى الناس، وهكذا كل من فعل فعلهم، حصل له ما حصل لهم إلى يوم القيامة.
Maka ambilah pelajaran tersebut dari para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, sesungguhnya mereka ketika berhijrah di jalan Allah dan mereka meninggalkan negeri, anak-anak, serta harta mereka karena Allah, sempurnalah iman mereka dengannya dan mereka berjihad dengan jihad yang besar, maka pembelaan terhadap agama Allah, di mana mereka menjadi pemimpin bagi orang-orang setelah mereka, demikian juga mereka memperoleh hal-hal yang diakibatkan oleh hal itu berupa kemenangan-kemenangan dan ghanimah-ghanimah, dimana mereka menjadi orang-orang yang jadi kaya dan demikianlah setiap orang yang melakukan apa yang mereka lakukan, niscaya mereka akan memperolehnya sampai Hari kiamat. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, I/196).
Dengan demikian, umat Islam seyogiayanya mengambil pelajaran. Membangun peradaban Islam harus melalui proses, salah satu tahapannya adalah hijrah. Karena ini merupakan bagian dari manhaj nubuwwah, di mana rumusnya adalah sejarah akan berulang maka tempuhlah metode yang telah dicontohkan para nabi dan para salafus shalih. Imam Darul Hijrah (Imam Malik bin Anas) pernah berkata,
لَا يُصْلِحُ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Umat akhir zaman ini tidak akan baik keadaannya, kecuali dengan memperbaiki sebagaimana generasi awal memperbaiki.”
Terakhir, atas jasa Umar bin Khattab umat Islam memiliki kalender sendiri yakni kalender hijriah, yang ditetapkan dari mulai hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka, peristiwa ini bukan sekedar jadi kenangan nostalgia atau diperingati secara seremonialnya saja. Tetapi umat Islam harus menggali makna hijrah, menerapkan nilai-nilainya dan menjadi bahan evaluasi dalam perencanaan dakwah Islam, agar meraih hasil perjuangan yang signifikan. Menarik apa yang diungkapkan oleh, Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi,
أرّخ عمر بن الخطاب التاريخ بالهجرة ولم يؤرخه بميلاد النبي ﷺ كما فعل أهل الكتاب، لأن الأمة أمة عمل، ولا تقدس الزمن بلا عمل (الشيخ عبد العزيز الطريفي)
“Khalifah Umar bin Khattab menetapkan sistem penanggalan Islam berdasarkan peristiwa Hijrah Nabi Shallallahu ‘alalihi wa Sallam dan bukan berdasar kelahiran seorang nabi sebagaimana biasa dilakukan kalangan ahli kitab, hal ini karena umat Islam adalah umat yang gemar berjuang dan bukanlah umat yang hanya menghormati hari bersejarah tanpa berjuang.”
Wallahu a’lam.