Menjadi pribadi yang pemaaf adalah perbuataan yang mulia. Namun, memaafkan kesalahan orang lain, bukanlah perkara mudah, kecuali orang yang telah diberi kelapangan hati oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah teladan dalam akhlaqul karimah. Beliau tidak memiliki rasa dendam dan mudah memaafkan orang lain, bahkan tanpa si pelaku meminta maaf sekalipun.
Kisah-kisah sikap Rasulullah yang pemaaf begitu masyhur dan bisa dibaca dalam Sirah Nabawiyah. Misalnya dalam rumah tangga, ketika Aisyah cemburu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak marah.
Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلْتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِصَحْفَةٍ فِيْهَا طَعُامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِيْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِهَا يَدَّ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فاَنْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِيْ كَانَ فِيْ الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حُبِسَ الْخَادِمُ حَتَّى أَتَى بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيْحَةَ إِلَى الَّتِيْ كَسَّرَتْ صَحْفَتَهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُوْرَةَ فِيْ بَيْتِ الَّتِيْ كَسَّرَتْ
“Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau (Aisyah). Tiba-tiba isteri yang lain (Zainab bin Jahsy) mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: “Ibu kalian sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemilik mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau” (HR. Bukhari).
Coba bandingkan, bagaimana bila peristiwa di atas terjadi dalam rumah tangga orang pada umumnya, ketika seorang istri cemburu buta lantas berlaku kasar di hadapan suami? Mungkin kecaman atau bahkan amarah yang akan keluar.
Rasulullah tidak demikian, beliau bersikap tenang, bahkan rela memungut pecahan piring itu dengan tangannya. Ia tak memberinya sanksi melainkan mengudzur Aisyah yang tengah cemburu. Subhanallah…
Gambaran akhlak mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terlihat ketika menyikapi orang-orang kafir yang menjadi obyek dakwahnya, saat masa tribulasi periode Mekah. Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendakwahi penduduk Thaif. Namun, bukannya disambut, Rasulullah malah disambit. Penduduk Thaif menolak Rasulullah lalu mereka berkumpul menghadapi Nabi, kemudian melempari beliau dengan batu hingga kaki beliau berdarah. Sementara Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, anak angkat beliau yang menjadi saksi kebengisan penduduk thaif. Ia turut menjadi korban, lantaran melindungi Rasulullah dengan tubuhnya, sehingga kepalanya berdarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya kembali pulang ke Makkah dengan penuh kesedihan.
Mendapatkan perlakuan buruk penduduk Thaif, tak membuat Rasulullah dendam. Padahal ketika itu Malaikat Jibril mengabarkan adanya dua malaikat penjaga gunung yang siap menimpakan adzab kepada mereka.
فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“…Malaikat penjaga gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata, ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Al-Akhsyabain (dua gunung besar yang ada di kanan kiri Masjidil Haram). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahkan membalas orang-orang yang menzaliminya dengan doa.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَحْكِى نَبِيًّا مِنَ الأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ ، وَهْوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ ، وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِى فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Seolah-olah aku masih dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menceritakan seorang nabi dari para nabi, yaitu ketika nabi tersebut dipukul oleh kaumnya hingga menyebabkan keluar darahnya dan nabi itu mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berdo’a, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka itu tidak mengetahui.” (HR. Bukhari, no. 3477; Muslim, 1792)..
Betapa luhur akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika disakiti beliau bukan hanya memaafkan pelakunya, tetapi membalasnya dengan kebaikan berupa doa. Bukankah doa seorang nabi pasti dikabulkan Allah? Sungguh beruntung umat yang memiliki nabi sepertinya dan kemuliaan akhlaknya tak ada duanya.
Di sisi lain, akhlak mulia dengan memaafkan orang-orang jahil yang berbuat zalim, membalasnya dengan berbuat baik, juga menjadi kunci keberhasilan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau mampu merubah suatu peradaban dari kegelapan jahiliyah menjadi terang benderang hanya dalam waktu singkat. Karena dakwah dengan akhlak jauh lebih efektif, hati seseorang akan luluh dengan baiknya perangai dan doa orang yang terzalimi tak akan pernah ditolak.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (QS. Fushilat: 34-35).
Al-Imam Ibnu Katsir mengutip penjelasan salah seorang sahabat tentang ayat di atas,
قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس في تفسير هذه الآية: أمر الله المؤمنين بالصبر عند الغضب، والحلم عند الجهل، والعفو عند الإساءة، فإذا فعلوا ذلك عصمهم الله من الشيطان، وخضع لهم عدوهم كأنه ولي حميم
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bersabar saat sedang marah (emosi), lembut dalam menghadapi orang yang tidak mengerti (jahil) dan memaafkan bila disakiti. Apabila mereka melakukan budi pekerti ini, maka Allah akan memelihara mereka dari godaan setan, dan menundukkan bagi mereka musuh-musuh mereka sehingga seakan-akan menjadi teman yang sangat dekat. (Tafsir Ibnu Katsir, VII/181).
Jika memaafkan orang yang menzalimi itu sulit, maka membalas keburukan dengan kebaikan jauh lebih sulit. Maka seyogyanya kita berdoa semoga Allah memberikan kelapangan hati, keluhuran akhlak dan terus berusaha meneladani sikap mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.