Oleh Ustadz Fajriansyah, Lc.
(Staf Pengajar Ponpes Salman Al-Farisi)
Umat Islam adalah umat yang paling besar kontribusinya dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut sudah jamak diketahui oleh setiap anak bangsa yang jujur memperhatikan catatan sejarah.
Lantas muncul pertanyaan dari mana semangat juang tersebut berasal? Jawabannya kita bisa melihat fakta sejarah bahwa banyak inspirator perjuangan adalah para kiai dan juga kaum santri.
Pangeran Diponegoro misalnya, beliau adalah santri dari Kiai Hasan Besari di Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Pengeran Diponegoro amat menggemari kitab-kitab fiqih, salah satunya kitab Taqrib. Artefak kitab Taqrib masih dapat disaksikan di Museum Pengabidan Pangeran Diponegoro, yang merupakan Bekas Karesidanan Kedu, Magelang, Jawa Tengah. Boleh jadi kitab Taqrib itu adalah kitab fiqih mazhab Syafi’i, Al-Ghayah wa at-Taqrib karya ulama besar, Abu Syuja’ yang biasa dikenal dengan Matan Abu Syuja’. Mungkin juga syarah (catatan penjelasan) dari kitab Taqrib itu sendiri, mengingat kitab ini disyarah banyak ulama.
Kemudian, dalam perang mempertahankan kemerdekaan, ada Kiai Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Lewat Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang digagas Mbah Hasyim, pendiri Ponpes Tebu Ireng, Jombang itu berhasil memobilisasi para santri dan pejuang arek-arek Suroboyo, menggempur tentara sekutu pimpinan Inggris yang hendak menjajah Indonesia kembali. Akibatnya, pimpinan tentara sekutu, Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
Lalu, ada Jenderal Besar Soedirman. Sosok panglima perang pertama Indonesia yang pernah menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan. Soedirman tumbuh baik dalam pendidikan Muhammadiyah. Jenderal santri yang selalu menjaga wudhu itu dikenal rajin mengikuti pengajian “malam Selasa” di Masjid Besar Kauman.
Di sisi lain kita bisa membaca sejarah Pesantren Tegalsari di Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Ageng Hasan Besari pada abad ke 18 masehi. Di antara santrinya adalah Pakubuwono II, Pangeran Diponegoro sebagaimana disinggung di atas dan tokoh pergerakan nasional H.O.S. Cokroaminoto. Kelak dari pesantren inilah berdiri Pondok Modern Gontor.
Agar tidak sekedar menjadi nostalgia semata, pesantren hari ini harus mengambil peran menopang gerak bangsa. Apalagi, krisis multidimensi tengah melanda di penjuru negeri. Ditambah, virus mechiavellistik tengah menjangkiti pemangku kebijakan.
Maka sejatinya para “santri” yang berasal dari bahasa Jawa “cantrik” adalah seseorang yang selalu mengikuti sang guru (mulazamah). Para pelajar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ulamanya. Dengan demikian ulama harus menjadi contoh, agar para santri terdidik dengan adab keteladanan. Sehingga kelak mereka menjadi pelanjut ulama. Bahkan lebih dari itu, para santri sudah semestinya disiapkan menjadi generasi pejuang terbaik. Hal itu sebagaimana amanah Al-Qur’an,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (Q.S. Ali Imran : 110).
Semoga pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang turut membidani lahirnya kemerdekaan Indonesia, tak lekang oleh waktu dalam melahirkan para pemimpin umat di masa depan, berjiwa ksatria melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar memerdekakan bangsa dari neokolonialisme yang merongrong Indonesia.
Sumber:
Buletin Sanabil Edisi 33(DOWNLOAD)