تطيب القلوب للعلم كما تطيب الأرض للزراعة
“Hati yang sehat akan menumbuhkan ilmu sebagaimana tanah yang subur akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan”
(Al-Imam An-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran)
Akhir-akhir ini kita sering mendengar tema tentang adab diangkat, baik di lembaga pendidikan, masjid-masjid dan juga kajian-kajian. Juga marak kurikulum adab dirumuskan dan disusun. Ini menunjukkan kesadaran umat tentang pentingnya adab sebelum ilmu.
Tetapi di lapangan kita masih mendapati susahnya mendidik anak-anak dan menjadikan mereka beradab sebagaimana yang diharapkan. Bahkan tidak sedikit lembaga pendidikan yang mengeluhkan susahnya dan sulitnya menanamkan adab dalam diri dan pribadi anak-anak.
Ketika kita ingin sukses membangun kurikulum berbasis adab perlu kita menengok bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan para sahabat mengajarkan adab lalu mentransfernya kepada generasi setelahnya. Sebagaimana yang disampaikan imam malik bin anas:
لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
“Umat ini tidak akan baik keadaannya, kecuali dengan memperbaiki sebagaimana generasi awal memperbaiki”.
Maka selama kurikulum pendidikan kita masih terdikte, terjajah, terintimidasi dan tidak memiliki independensi, maka selama itu pula kurikulum adab hanya sebatas teori yang tertulis di buku-buku, dia tidak akan bisa membumi dan mengubah perilaku.
Terdapat beberapa instrumen penting yang perlu kita lihat dalam pembelajaran adab di masa salaf, diantaranya:
- Kurikulum yang tidak terbatas dengan ruang dan waktu.
Kita dapati para sahabat dan salafush shalih belajar adab dimanapun mereka berada. Ketika safar, ketika makan, ketika berjihad bahkan ketika menyaksikan pemakaman, mereka terus belajar akhlak dan adab. Karena adab adalah merubah perilaku, meluruskan kesalahan yang tentunya kita dapati di seluruh kegiatan-kegiatan dan aktifitas kita. Sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menegur seorang anak yang kurang adabnya ketika makan, “Nak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah makanan yang paling dekat denganmu”. Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengajarkan adab ketika sedang makan bukan hanya teori yang di sampaikan di ruang kelas.
- Menggabungkan antara teori dan praktek.
Adab adalah teori sekaligus praktek dua hal ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, maka ketika kita mencermati kegagalan pengajaran adab salah satu penyebabnya adalah karena pengajaran adab hanya sebatas teori dan tidak langsung dipraktekkan. Maka kita harus membangun pendidikan yang berkesinambungan 24 jam yang tersambung antara sekolah, lingkungan, dan juga rumah. Semuanya saling bersinergi dengan instrumen adab yang terus mengiringi sinergitas yang terbangun itu.
- Proses pendidikan secara Langsung (Real Time).
Pembelajaran adab adalah proses ta’dilus suluk (memperbaiki kesalahan). Maka kesalahan murid adalah peluang bagi guru untuk memulai proses pembelajaran. Karena tanpa kesalahan maka tidak mungkin proses ta’dilus suluk bisa berjalan. Maka seorang pendidik tidak boleh risau ataupun cemas ketika melihat kesalahan peserta didiknya. Karena hakikatnya proses pembelajaran baru dimulai.
- Qudwah (contoh)
Guru adalah pendidik bukan hanya pengajar, maka kecintaannya terhadap ilmu dibarengi dengan semangatnya untuk mngamalkan ilmu. Disinilah para murid mengambil bukan hanya ilmu tapi juga adab gurunya. Imam Malik bin Anas ketika belajar kepada syeikhnya Robi’ah Ro’yi mendapat pesan khusus dari ibunya, إذهب إلى ربيعة فخذ من أدبه قبل علمه (berangkatlah engkau kepada Robi’ah dan pelajarilah adabnya sebelum engkau belajar ilmunya).
- Proses yang panjang
Ibnu Mubarak berkata: “Aku belajar adab selama 30 tahun”. Dari ungkapan beliau kita bisa simpulkan pembelajaran adab adalah proses pembelajaran yang panjang, membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Tidak bisa hanya ditransfer melalui pelatihan-pelatihan singkat, bahkan pembelajaran adab adalah proses pembelajaran seumur hidup.
Dengan mempelajari instrumen adab dari para salafush shalih ini, Pondok Pesantren Islam Salman Al-Farisi berusaha menerapkannya. Bahkan adab menjadi perhatian penting kami sejak calon santri mengikuti tes Penerimaan Santri Baru (PSB).
Setelah mereka diterima menjadi santri, mereka akan melewati proses pendidikan adab selama 6 bulan atau lebih. Dalam masa itu, santri belum diperkenankan menghafal Al-Quran dan mengikuti pelajaran-pelajaran lainnya. Semuanya difokuskan untuk pembinaan adab agar menjadi pondasi dasar dalam kehidupan belajarnya.
Tentu, waktu 6 bulan tidak cukup. Karena Imam Ibnu Mubarak sendiri belajar adab selama 30 tahun di zaman yang pada saat itu seluruh perangkatnya masih ideal. Tetapi, setidaknya, program tersebut menjadi titik tolak pendidikan adab yang berkesinambungan pada santri sampai akhir hayat mereka.
Oleh: Ust. Fajriansyah, Lc