Bila kita menengok prinsip pendidikan salafushalih dahulu, ternyata sangat jauh berbeda dengan pendidikan Islam yang kita terima sekarang. Prinsip pendidikan Islam hari ini sedikit banyak terpengaruh dengan pola barat. Kemampuan lahiriyah yang bersandar pada kecerdasan otak menjadi titik fokus.
Maka kita saksikan, pendidikan yang terpengaruh oleh objek Barat menjadikan angka-angka nilai sebagai timbangan penghargaan. Akibatnya generasi kita kehilangan nilai yang paling agung dalam pendidikan islami, yaitu ruh Islam itu sendiri.
Islam hanya menjadi nilai-nilai yang disusupkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam lembaga, kemasyarakatan, masjid, sekolah, kampus dan negara. Ianya hanya berupa nilai bukan hakikat Islam itu sendiri.
Perkara yang paling tampak dalam lembaga pendidikan yaitu, lemahnya pendidikan adab. Bahkan pendidikan adab tidak menjadi bagian dari kurikulum dan hanya berupa himbauan dalam jadwal ceramah sebelum masuk kelas atau bada shalat. Kemudian dipres dengan aturan-aturan kelembagaan.
Sebaliknya, para salafushalih menjadikan pelajaran adab sebagai kurikulum baku yang tidak terpisahkan dari pelajaran lainnya. Seperti riwayat dalam kitab Al-Jami karya Khatib Al-Bagdadi dengan sanad yang sampai pada Malik bin Anas, berkata Ibnu Sirin:
“Mereka belajar adab sebagaimana mereka belajar ilmu.”
Oleh sebab itu, sudah biasa orang salaf belajar adab saja hingga bertahun-tahun lamanya. Seperti Imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang belajar adab selama 30 tahun. Dan hanya mempelajari ilmu selama 20 tahun. Titik beratnya bukan pada nilai-nilai lahiriyah. Hingga akhirnya dengan pengalaman ini beliau menyimpulkan:
“Hampir-hampir saja adab itu menjadi sepertiga agama.”
Mereka juga lebih menyukai belajar adab yang baik daripada banyaknya ilmu dan menghafal hadits. Ketika mereka belum baik adabnya -dalam timbangan generasi salaf- mereka tidak mengambil ilmu lainnya. Seperti diriwayatkan dari Umar radhiyallahu anhu:
“Beradablah lalu belajarlah!”
Inilah didikan Umar serta para sahabat lainnya. Mempola muslim menjadi pribadi yang mulia. Fokus pada tarbiyah adab sebelum masuk kedalam persoalan ilmiah.
Timbangan mereka ketika menilai seseorang bukan pada kecerdasannya, keahlian membaca Al-Qurannya, hafalannya, ahli berceramah… Tidak. Tetapi pada adab. Penghargaan mereka pada seseorang yang tinggi adabnya. Ibnu Mubarak rahimahullah pernah menasihati muridnya:
“Aku tidak menyesal bila tidak bertemu dengan seseorang yang disebut biografinya sebagai orang yang menguasai ilmu generasi pertama dan terakhir. Tetapi jika aku mendengar seseorang memiliki adab mulia nan tinggi, aku sangat ingin berjumpa dan menyesal bila tidak menemuinya.”
Apabila ilmu tidak diimbangi dengan adab yang baik, justru akan dikhawatirkan menghasilkan kontra produktif dengan ilmu itu sendiri. Orang berilmu tanpa adab akan membahayakan dirinya sendiri dan juga umat. Jika dia menjadi ulama, dikhawatirkan akan menjadi ulama su’, yaitu ulama yang jahat pada umat dan Islam.
Oleh: Ust. Abdurrahim Ba’asyir, Lc